Selamat datang di Web ini,

Cerita Rakyat ini dipersembahkan agar kita mengetahui adat-istiadat. banyak kelemahan dan kekurangan. Web ini sub Domain Dari LangsaT Borneo.
Pencerahan dan saran pendapat silahkan kirim email ke whyank@gmail.com

Selasa, 19 November 2013

Diang Bakut-Haruai

Di Kampung Sekitar Timbuk Bahalang, Haruai, hiduplah seorang petani bernama Raden Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita, baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin. Mereka keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai. Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja. Akhirnya, mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang. Kampung itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyan, Deah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau, kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda kepahlawanan. Di kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya. Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang, barahmata, hadungan, singgah manginang, buntal, dan lain sebagainya. Ikan daratnya, haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan yang sekarang mahal harganya, yakni bakut . Di sinilah awal kisah. *** Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera. Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil. Duduk melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya, “Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan….” “Ya, Kakanda.” ”Betapa bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.” “Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang cantik dan berkuasa.” “Huss, Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan lagi…” ”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.” “Ya, tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu. Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita akan repot…” “Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.” Jelang sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat cantik. Upacara syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat dan baaruhan. Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya diadakan karasmin , dengan manuping . Penari wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka , diiringi gendang karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul . Semakin malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir menjelang dini hari. *** Dengan berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut, Putri Aima suka menyendiri. Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohon lua. Putri Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi pendamping hidupnya kelak. Ia selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang tahun. Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu. Putri Aima mampu bicara dengan pelanduk. “Hai, pelanduk!” “Hai, Putri Aima…,” sahut pelanduk. Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?” “Dekat sini saja,” jawab pelanduk. “Boleh aku ke tempatmu?” ”Boleh,” jawab pelanduk lagi. Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang. Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa. Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan. ”Selamat datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hati Putri Aima bergetar memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk! Putri Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman. Dengan ramah, pemuda itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di sana ada kolam yang luas dan berair jernih. Saat pemuda tampan itu mengajaknya berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air. Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran ke sungai. Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikan berwarna hitam. Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang sama, berusaha menenangkan Putri Aima yang terkesima, dan mengajaknya bicara. “Putri Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk Bahalang ini. Kami sering kehilangan warga kami. Warga senang menangkap ikan. Mereka telah menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aima kami ambil sebagai pengganti…,“ kata ikan hitam itu. “Oh… Bisakah aku bertemu ibunda lagi?” “Bisa. Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci…” *** Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunya yang amat dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh warga kampung berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru . Semua upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukun dimintai bantuan. Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup, tapi entah di mana. Kenanga Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah Putri Aima, dalam wujud ikan bakut, melompat ke atas lanting . ”Ibundaaa….!” Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh… Siapa engkau? Engkaukah yang bicara, ikan bakut?” “Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima diminta sebagai gantinya.” “Oh, Anakku… Bisakah engkau kubawa pulang?” “Bisa, Bunda. Ulun bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu Ibunda dan Ayahanda.” Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada suaminya. “Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harus bersabar,” kata Raden Pelewangan. Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri Aima. “Ayahanda…! Ibundaaa…!” seru Putri Aima sambil menangis dan memeluk kedua orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima disebut “Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”. *** Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati(Malanja dan Tabalong Pagat) banyak ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap ikan itu, sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga berkhasiat sebagai obat. Sumber : https://www.facebook.com/KumpulanCeritaRakyatBanjarmasin/posts/133990863450621

Sabtu, 19 Oktober 2013

Sungai Malele (Malilih) Menurut Prof. Klaus J Mayer di Tahun 1897

Terjemahan : Adele Marie Okamoto, 1949, Two Go Together (Dogyo Ni-Nin), Kyoto: Bunseido.oleh Klaus J. Meyer- Arendt Adele Marie Okamoto, 1949, Selalu Berdua Kemanapun (Dogyo Ni-Nin), Kyoto: Bunseido. oleh Klaus J. Meyer-Arendt (05 Agustus 2013) Pengantar buku ini ditulis di taman kuil di "Rinkoin" (biara) di Shokokoji Kyoto, dekat plum pohon bersejarah Oshukubai. Dalam Suwa Hills dari Kobe, Jepang, ada kuil Buddha bernama Jogakuji, di sudut dari Tor Hotel. Ada Matsu (Omassa Imai, lahir 1871 di Kobe) dimakamkan di bawah pohon ceri antara candi dan hotel. Abunya kemudian dibawa ke keluarganya di luar Rokko. Nama penguburan: Chitatsuin Myotoko Nissho. (Adele punya sepupu bernama Yoshi). Adele lahir di Malele, Belanda Kalimantan. Malele adalah yang pertama dari dua perkebunan tembakau besar di Barito, dekat Amuntai, yang didirikan oleh ayahnya, Friedrich "Fritz" Suck (lahir 26 Juni 1864 di Hamburg, meninggal 9 Mei 1940 di Hamburg). Penduduk asli di daerah itu Dayak. Setelah Malele, tanggal 2 perkebunan itu Tanjung ("di atas permukaan laut tinggi"), yang menjadi situs dari wisma keluarga. Wisma itu di sebuah tikungan dari "lengan Barito", dan di sisi selatan rumah itu rumpun pohon sukun (poco roti). LATAR BELAKANG (FRITZ) (bab 5): Fritz telah meninggalkan Jerman pada 19 (1883) dan bergabung Deli-Sumatera, sebuah perusahaan Belanda, untuk membantu mengawasi perkebunan karet dan tembakau di Sumatera. Dia menandatangani kontrak 6 tahun, yang selesai pada 1889. Setelah itu ia pergi ke Singapura, di mana ia bertemu dengan Inggris Charles Shaw. Fritz telah ingin menjelajahi dataran tinggi interior Malaya, namun Shaw yang tahu daerah-direkomendasikan Belanda kepulauan Hindia Timur sebagai gantinya. Di Hotel Singapura, mereka bertemu seorang misionaris Jerman ditempatkan di Banjarmasin, Kalimantan, dan ia direkomendasikan Borneo sebagai perbatasan baru. Fritz and Shaw memulai untuk mengorganisasi sebuah perusahaan dan menawarkan saham untuk dijual untuk mengumpulkan uang untuk usaha ini. Ini datang ke perhatian Mr Kuni, seorang pedagang kaya dari Kyoto tetapi penduduk lama di Singapura. Meskipun awalnya tertarik membeli saham, dia memutuskan untuk menarik kemitraan nya ..... tapi dia tetap teman dengan dua. Kuni memiliki anak angkat, Matsu Kuni, maka 18 (tahun 1889). Baik Charles dan Fritz yang terpikat dengan Matsu, tapi Fritz menang dan segera menikah Matsu. LATAR BELAKANG (Matsu) (bab 7): Matsu adalah putri Jimbei tanggal 14, keturunan langsung dari Jimbei Pertama (abad ke-16), Samurai, dari zaman Hideyoshi, yang adalah yang pertama dari Inouye-Uji . Ketika ia meletakkan pedangnya, Jimbei Pertama menetap di Range Rokko, di Aimoto luar Pegunungan Kobe. Rumahnya adalah Rumah Imai (18 mil persegi), Imai berarti "sumber kemurahan hati ilahi". Karena Matsu lahir seorang gadis (bukan yang diinginkan anak Jimbei ke 14), dia diberikan untuk "bangsawan rendah" untuk menaikkan. Ketika dia berusia 6, dia dibawa untuk mengunjungi rumah leluhur oleh orang tua angkatnya (ayah angkat: Saemon) sebelum mereka semua pindah ke Kobe. Perjalanan ke Kobe adalah melalui Arima Road, Arima menjadi terkenal mata air panas di daerah. Kobe pada waktu itu (1877) adalah sebuah desa nelayan (bernama Hyogo [Pelabuhan]) yang memiliki sebuah kuil Nanko. Sebagai keluarga angkatnya kehilangan kekayaan mereka selama bertahun-tahun, Adele diambil pada pada usia 13 (1884) oleh Kuni. Fritz and Adele menikah dan tinggal di Singapura (di bawah) sebagai Fritz mengembangkan usaha Borneo nya. Utara Singapura adalah Johar Bahru (sekarang Malaysia), semacam Monte Carlo untuk set Singapura. Teman tinggal di sana, dan Matsu tahu daerah baik (Bab 10). Thomas lahir 23 Januari 1892. Pada bulan Mei, ketika Thomas adalah 4 bulan, keluarganya pindah ke Kalimantan. Dari Banjarmasin ke Malele adalah 100 mil, dan tidak sampai hari ke-2 (dengan perahu) adalah pertemuan Sungai Martapura dan Sungai Borito tercapai. Setelah bertemu dengan buaya, mereka mencapai penyelesaian hutan kecil di tengah buah-tumbuh kabupaten (terkenal karena durian nya). Dua minggu kemudian, mereka sampai di Amuntai. Malele dan Tanjung keduanya berada jauh laut (Daerah Hulu Amuntai?) Dua puluh lima mil di bawah Banjarmasin adalah Martapura, ibukota kuno dari Kalimantan, di mana Sultan Kalimantan Selatan masih tinggal. Matsu pergi mengunjungi Sage Martapura (orang suci). Selain Thomas (Wisdom), Sage yang diprediksi dua anak tambahan: Love (Adele), dan Power (Jimmie) Pada 1 Januari 1894, Adele lahir di Malele. Fritz sibuk menyelesaikan grand wisma di Tanjung. Ia bahkan berencana untuk membangun bendungan (pengendalian banjir?) Fritz akan pergi pada ekspedisi ke pedalaman, seringkali dengan misionaris Jerman (yang berbasis di Banjarmasin). Mereka ditemui pribumi berkulit putih dan sekali dibawakan orangutan, yang kemudian dijual ke agen dari Hamburg Zoo berbasis Hamburg. Pada usia dua atau tiga, Thomas dikirim ke Banjarmasin untuk hidup dengan keluarga misionaris, yang termasuk anak Rudolf. Thomas berada jauh dari Tanjung selama dua tahun. Pada awal 1897, pada usia lima, Thomas dan keluarga misionaris perjalanan ke Hamburg. Mereka berangkat sebagai Pleiades terbit di timur, musim tanam padi telah dimulai Tak lama kemudian, Fritz memutuskan untuk mengambil Matsu dan Adele perjalanan keliling dunia, termasuk ke Jepang dan Jerman. Setelah Jepang, rencananya adalah untuk perjalanan ke Meksiko, di mana Fritz punya saudara Pada April 1897, mereka tiba di Jepang. Kargo meluncur melewati pantai putih Akashi, Maiko, dan Suma (semua dari barat dan dekat dengan Kobe), dan masuk ke pelabuhan Kobe (dengan pemandangan yang indah dari Rokko San). Para Kunis datang untuk menyambut mereka, meskipun mereka telah pindah ke Kyoto, 50 km sebelah utara. Her asli bapak angkat (Saemon) datang untuk menyambut dia juga. Orang tua kelahiran Matsu (Jimbei dan istri) meninggal pada saat ini Kyoto itu terlalu kuno, sehingga keluarga menetap di Kobe. Fritz membangun sebuah "setengah-Jepang, vila setengah-Eropa" di Hills Suwa atas Kobe. Perjalanan dibuat untuk Aimoto, di Rokko melalui Rokko Trail lama. Aimoto berbaring di provinsi pertanian kaya Prefektur Hyogo (dan mengingatkan Fritz Jerman). Aimoto adalah rumah leluhur Jimbei Pertama dan tempat Matsu dilahirkan. Satunya saudara Matsu (Yasukichi) masih tinggal di sana. Dan ibu kandungnya Matsu menampakkan diri kepadanya, 27 tahun setelah pertemuan terakhir mereka, sebagai penampakan oleh pohon kesemek di pintu masuk ke perkebunan. Sepanjang perjalanan menuju Aimoto, keluarga disahkan oleh terkenal belerang air panas dari Arima (Arima Onsen). Itu 50 mil dari Aimoto ke Kyoto. Para Kunis tinggal di Karasumaru, sebuah distrik Kyoto. Mereka dalam perdagangan sutra, fabricants dan pedagang Sementara keluarga berada di Jepang, Charles Shaw mengirim kabar masalah di Kalimantan, misalnya, pembunuhan dan penghancuran properti ("pribumi yang mulai gelisah"). Charles dan Fritz memutuskan untuk kembali ke Tanjung, Kalimantan Sementara itu, Matsu santai di spa Arima. Dia hamil anak ketiga, akan lahir akhir tahun 1897 (setelah salju pertama). Pada musim gugur 1897, Fritz menulis untuk mengatakan ia meninggalkan Kalimantan untuk ke Inggris Bayi yang baru dibaptis Tosaburo. Fritz menyatakan sedikit minat, dan mengeluh tentang (tembakau) bisnis jatuh. Matsu tidak bisa berurusan dengan musim dingin di Kobe lagi, jadi dia dan dua anak-anak memutuskan untuk pindah ke selatan lebih hangat dari Jepang ke Nagasaki. Matsu tidak Bisa berurusan Artikel Baru Musim Dingin di Kobe Lagi, jadi dia Dan doa Anak-Anak memutuskan untuk Pindah Ke Selatan lebih Hangat Bahasa Dari jepang Ke Nagasaki, di pinggiran sebuah desa nelayan. Dia tetap ada untuk lima tahun ke depan (hingga 1903). Dia diam, anak meditatif, dan dia ibunya yang sebenarnya menjadi laut. Rupanya dia tidak pernah mencintai ibunya yang sebenarnya lagi. (Kemudian, Adele adalah untuk memberikan nama Barat James, atau Jimmie, setelah Tosaburo.) Fritz bertemu dengan Matsu dan Adele di Singapura (tahun 1898), tapi ia memiliki kecurigaan bahwa Jimmie (Tosaburo) adalah bukan anaknya, tapi mungkin anak Charles Shaw Keluarga perjalanan kembali ke Tanjung, Kalimantan, bersama dengan (dingin) bankir Jerman yang mendanai produksi tembakau. Banjir telah mengepung rumah itu dengan air. Penduduk asli yang marah dan mengancam akan meledakkan bendungan Fritz dan Charles Shaw telah dibangun. Shaw pergi ke bendungan, tetapi kemudian meledak, dan tubuh Shaw kemudian ditemukan di pohon dibawa hilir akibat banjir. Para misionaris Jerman datang dari Banjarmasin, dan ia menyarankan mengirimkan Adele ke Jerman. Matsu tidak setuju, dan diputuskan untuk mendidik Adele di Singapura sebagai gantinya. Pada bulan Maret 1900, Matsu mengambil Adele (sekarang 6) ke Singapura, di mana ia segera terdaftar di sebuah sekolah Katolik Perancis (Convent of the Holy Infant Jesus, atau CHIJMES). Matsu adalah untuk kembali ke Kalimantan, tapi dia akhirnya membutuhkan operasi dan pengeluaran bulan di rumah sakit. Fritz menulis dan mengatakan ia akan mengambil Adele ke Jerman dari mana ia akan pergi ke Inggris. Tapi Matsu mengatakan tidak. Dari tempat tidur rumah sakit, Matsu bersekongkol untuk mengirim Adele ke Jepang sebelum Fritz bisa sampai di sana dari Kalimantan. Seorang janda dari Yokohama setuju untuk mengambil Adele ke Kobe. Entah bagaimana, dokumen Adele hilang, dan dia akhirnya tinggal di Yokohama. Wali sementara Adele di Yokohama (orang itu Zembei, bonsai dan spesialis kaligrafi, tapi miskin) membawanya ke Bluff, di mana orang asing tinggal di Yokohama. Di sana, emas berambut wanita bermata biru, berbahasa Inggris setuju untuk mengambil Adele in sampai "orang-orangnya dapat ditemukan". Segera setelah itu (musim gugur 1900), Adele berakhir di sebuah seminari-perguruan tinggi Protestan bagi perempuan, didirikan oleh wanita Amerika dan ditujukan untuk pemahaman internasional. (Perguruan tinggi ini memiliki pandangan baik dari Mt. Fuyiyama.) Pada musim panas berikutnya (1901), Matsu melakukan kontak (cerita panjang). Fritz pergi ke Jerman, sementara dia tetap di Singapura. Segera, bagaimanapun, Matsu muncul di Jepang, menemukan Adele di seminari, menarik, dan membawanya pulang ke Kobe, ke pondok di Suwa Hills. Matsu terdaftar Adele di sekolah yang sama, tetapi di Osaka sekitar (dikenal sebagai "kota hitam" karena industrinya. Sekolah-Sekolah di Poole for Girls-berada di Kawaguchi, bagian terbersih dari Osaka. Sekolah telah dinamai arthur Poole, uskup Anglikan pertama di Jepang. Adele akan berakhir di sekolah ini selama enam tahun lagi (sampai 1907). Matsu juga mempertahankan kontak dengan abbott yang membesarkan Tosaburo (Jimmie) di biara di seberang Nagasaki. Dia pergi untuk mendapatkan dia dan membawanya kembali ke Kobe. Selama liburan dari Sekolah Poole, Adele mampu melihat Jimmie, sekarang usia 5 (1902). Fritz memanggil Matsu untuk menemuinya di Singapura. Adele naik di Sekolah Poole, dan Jimmie dipercayakan kepada sepupu di Aimoto (yang Jimbei rumah leluhur). Selama lima tahun ke depan (1902-1907), Matsu tidak terlihat. Dia membuat rumahnya di Singapura, sementara Fritz bepergian antara Kalimantan, Jerman, dan Deli-Sumatera (rumah sebelumnya 1883-1889). Dia perlahan-lahan kehilangan nya Kekuasaan di Borneo, tapi ia secara bertahap bergeser menjadi sumber pendapatan baru dengan menjadi seorang bankir (Rotterdamsche Bank? Nederlandsche Indische Handlesbank). Ia juga mengirimkan Matsu satu set surat cerai. Rupanya ia sudah mengambil istri-baru bangga, putri pirang seorang bankir Hamburg Fritz ditawarkan untuk mengurus Matsu finansial jika ia berbalik Adele kepadanya untuk sekolah di Jerman dan bahkan Jimmie akan diurus Pada tahun 1907, Matsu mengambil Adele (sekarang 13) dalam perjalanan ke Singapura untuk bertemu dengan Fritz. Jimmie seharusnya pergi juga, tapi dia menyembunyikan, dan kapal berlayar tanpa dia. Ketika mereka masuk ke pelabuhan Singapura, mereka melihat Fritz 'kapal Jerman yang terikat meninggalkan. (Mengapa ia tidak bisa menunggu) Matsu menawarkan untuk mengirim Adele ke Jerman pada dirinya sendiri, tetapi lebih suka Adele tersisa dengan ibunya. (Itu berarti, tentu saja, bahwa Fritz tidak akan menyediakan dukungan keuangan). Di Singapura, Matsu dan Adele pergi untuk tinggal di tempat di mana Matsu sebelumnya tinggal, di ujung timur dari Bund. Tapi Matsu segera merasa bahwa Singapura bukan tempat untuk seorang gadis remaja, sehingga Adele kirim ke Penang. Sebuah sekolah Protestan menolak, tapi sebuah sekolah Katolik membawanya di (Convent of the Holy Infant Jesus, yang dikenal sebagai Cahaya Convent Street). Seperti CHIJMES di Singapura, sekolah ini dijalankan oleh sebuah yayasan Perancis, tapi para suster terutama Inggris dan Irlandia. Adele akhirnya menghabiskan empat tahun di sekolah ini, dari usia 13 sampai 17 (1907-1911). Sementara itu, Matsu telah mengakuisisi sebuah bungalow Belanda-Melayu di Bindjei, Sumatera (situs salah satu yang lebih penting India Timur Belanda rumah sakit Perusahaan. Matsu telah menjadi seorang perawat. Bindjei pada dasarnya di Selat Malaka dari Penang, dan Matsu menyeberang dengan feri (dari Belawan) sering untuk mengunjungi putrinya. Fritz, sementara itu, telah menjadi terkait dengan perusahaan perbankan Rotterdam kuat (Rotterdamsche Bank?). Perusahaan ini secara finansial yang paling dominan dalam perdagangan tembakau Sumatera (dan tampaknya Fritz dan keluarga barunya-seorang putri Ruth lahir pada tahun 1903 - tinggal di Sumatera serta selama tahun-tahun). Matsu mencoba, sia-sia, untuk mendapatkan tunjangan anak. Dia meminta nasihat dari mijnheer Jonas, direktur salah satu dari beberapa perusahaan yang memegang monopoli tembakau di Deli-Sumatera. Adele akhirnya tinggal di kediaman Jonas, di Gedong Djohore, dekat Medan Adele dipilih (oleh Jonas?) Untuk menjadi istri mijnheer Galio, baru (Belanda) direktur perusahaan. Dia sekarang 17 tahun, ia setidaknya 34. Mereka bertunangan. Tapi dia mencintai yang lain dan Adele memutuskan pertunangan. Adele sekarang terasing dari sebagian besar kenalan Belanda-nya di Deli-Sumatera. Dalam Bindjei, Adele mendapat pekerjaan di bidang kimia farmasi pada Apothek (apotek). Setelah beberapa saat, dia bahkan pencampuran senyawa dijual. Dia diterapkan untuk masuk ke Sekolah Kedokteran Kerajaan di Jawa, tapi ditolak (mungkin karena dia telah membuat musuh setelah memburuk perselingkuhannya dengan Galio). Adele, sekarang 19 (1913) ingin pindah ke Singapura dan keluar dari Hindia Belanda sama sekali. Matsu mengambil Adele untuk melihat liburnya dari Boelawah (Belawan), satunya pelabuhan Deli-Sumatera. Di Singapura, Adele mendapatkan posisi sebagai perawat di Rumah Sakit Pemerintah calon. Segera setahun telah berlalu (1914). Lalu Perang Dunia I pecah di Eropa, dan di Jerman Singapura yang diinternir. Adele turun dengan tipus Adele memutuskan untuk kembali ke Jepang, karena ia sedikit khawatir tentang menjadi setengah-Jerman dalam sebuah koloni Inggris. Dia punya konfirmasi nya. Tapi ia disarankan untuk meninggalkan Singapura, mungkin untuk tinggal dengan Matsu di Sumatera Tapi Adele membawa paspor Jepang, jadi dia memutuskan untuk pergi ke sana. Masih belum pulih dari tipus, Adele ditetapkan pada Yasakamura untuk Jepang. (Perahu itu tenggelam pada pelayaran berikutnya nya.) Dia tiba di Kobe dan ingin hidup dengan Haru, setengah dari mantan keluarga angkatnya yang tinggal dengan kuil. Haru bertemu dengannya di dermaga Itu Agustus 1914 ( ? ) Ketika Adele kembali ke Kobe . Kobe telah tumbuh , sekarang memiliki trem . Itu " kota asing terbesar di Jepang". Tapi dia mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di rumah sakit. Sebuah tawaran datang dari Bethell Brothers di bagian Kobe mana udara dipenuhi dengan asap kapur barus . Itu berarti klan Suzuki, yang memegang monopoli pada hutan kamper dari Formosa ( Taiwan ). Bethell Brothers terletak di tepi pantai. Departemen akuntansi, di mana dia bekerja, masih hidup dengan suara abacuses . Dia dipekerjakan, dan segera dia " yang bertanggung jawab atas buku". Adele melakukannya dengan baik dalam pekerjaan akuntansi dan menerima berbagai kenaikan gaji. Haru membantunya menemukan sebuah rumah kecil. Kemudian Adele merasa bahwa Matsu bisa pensiun ke Jepang, dan dia juga mulai membiayai pencarian untuk Jimmie. Tapi Matsu sakit parah. Bos Adele setuju untuk depan uang untuk membawa Matsu kembali ke Jepang. Ia pulang ke Jepang, tapi masih sakit parah dan perawatan rumah sakit diperlukan . Sekarang sudah Februari 1915 Di musim semi tahun 1915, Matsu dibebaskan dari rumah sakit dan pulang ke rumah untuk tinggal bersama Adele. Matsu (dan Haru) merasa bahwa Adele harus menikah, karena dia sekarang 21. Kemudian , Tosaburo ( Jimmie ) ditemukan ! Dia telah pergi selama hampir lima tahun ( 1910-1915 ). Saemon, para pendeta Buddha ( dan mantan bapak angkat Adele ), mulai pencarian. Dia melanjutkan " pulau ke pulau " di sudut-sudut terpencil Jepang , dan akhirnya menemukannya di Kepulauan Bonin, tiga kepulauan , di mana bahasa lokal dicampur Jepang, Spanyol, dan Portugis. Jimmie tinggal di sebuah pulau satu pulau jauh dari terakhir berhenti kapal pos ( pada tetangga yang lebih besar pulau [ Chichi Shima ), khususnya ototo Shima ( " Little Brother Island" ). Juli dan Agustus adalah musim penyu di pulau itu, dan Jimmie menangkap kura-kura . Dia ditemukan dan setuju untuk kembali ke Kobe. Adele telah memutuskan untuk menjadi seorang guru bahasa di waktu luangnya. Dia segera memulai sebuah sekolah bahasa Inggris, dan Tosaburo menjadi salah satu murid pertama. Ini adalah ketika dia mulai memanggilnya Jimmie ( atau James, dalam formal). Segera sekolah bahasa Inggris muncul di seluruh Jepang . Matsu mencoba untuk memperbaiki Adele dengan Mr Goto San, yang baik ke usia 30-an. Dia adalah seorang pengusaha, dengan rumah dan kepentingan bisnis di Shanghai, Cina. Pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I (1917?), Adele menetap di Shanghai dengan Matsu. Sementara itu, Jimmie telah direkrut menjadi tentara Jepang. Di Shanghai, sebelum menikah Adele untuk Goto San, Adele menemukan bahwa Goto San sudah menikah dengan Rosalita, yang dibesarkan dan dibesarkan di Macau, yang "Monte Carlo dari Timur". Rosalita telah menikah di usia muda dengan seorang pedagang Cina yang membawanya ke sebuah kota bertembok di Provinsi Empat Sungai (dekat Tibet). Dia melarikan diri dan secara bertahap berjalan ke Shanghai, di mana Goto menemukannya dan akhirnya ayah dua anak dengan dia. Tak perlu dikatakan, pernikahan Adele adalah off. Meskipun demikian, Matsu disukai pernikahan pula, karena Adele dikabarkan menjadi mata-mata Jerman (masih pada hari-hari memudarnya Perang Dunia I). Setelah sebulan Shanghai musim (dingin dan gelap dan kejam), Matsu dan Adele kembali ke Kobe, Jepang. Adele dipekerjakan kembali di Bethell Brothers pada 1917 (dan Perang Dunia I masih memiliki satu tahun penuh untuk menjalankan). Pada akhir perang (1918), Kobe adalah kota yang makmur di mana jutawan banyak Ketika bos baru datang ke Bethell saudara (dan berpikir bahwa Adele telah membayar lebih), Adele mampu, dalam dua hari, untuk mengamankan pekerjaan baru dengan perusahaan Amerika. Bahkan di sini, ia menemukan perbedaan dalam buku-buku (misalnya, kapal yang hilang, dll), dan dia akhirnya menyelamatkan perusahaannya banyak dolar. Untuk wanita berusia 20 tahunan (usia 24 pada tahun 1918), Adele membuat gaji terhormat. Di waktu senggang, dia belajar kaligrafi, sejarah, agama Oriental, dll Sementara itu, Jimmie tidak cocok untuk militer. Dan ia juga turun dengan tipus. Namun, setelah ia sembuh, ia adalah seorang manusia baru. Thomas, di sisi lain, telah terjangkau selama Perang Dunia I. Kemudian Adele bertemu seorang pemuda Inggris, sekitar 10 tahun lebih tua, dengan nama Harnaby. Mereka menikah, gaya Inggris, oleh rekan Majesty konsul jenderal di Kobe. Setelah pernikahan, Adele dan Harnaby pergi untuk tinggal di Sumiyoshi ("tempat yang bagus untuk hidup"), beberapa mil dari Kobe. Rumah mereka adalah di bukit, di atas kabut tanah. Pada musim panas, itu 10o dingin, di 10o hangat musim dingin. Sumiyoshi juga dikenal untuk air yang baik, yang terutama diinginkan demi. Mereka menyewa rumah mereka dari bankir, dan berada di sana selama 10 tahun (1918-1928). Namun, ini adalah menjadi 10 tahun tragis, dan pernikahan itu kurang senang. Adele terus bekerja. Dalam waktu luangnya, ia mengambil merangkai bunga. Seorang imam Buddha ia berkonsultasi didiagnosis masalahnya. Atas namanya, ia berziarah ke Gunung Ikoma, dekat Nara, sebuah ibukota kuno dari Jepang. Dia juga mengunjungi Gua Yata. Itu di sini bahwa ayah dari Jimmu, pertama yang bersejarah Tenno Jepang, telah mencari persekutuan dengan para dewa. Para pendeta Buddha juga membayangkan bahwa Thomas baik-baik saja. Tiga hari kemudian, pada bulan Juni, surat dari Thomas tiba. Dia mengakui ia tidak menyadari memiliki seorang saudara perempuan, atau seorang ibu yang hidup. Dia telah menerima berita dari British War memo Office (setelah Adele telah meminta bantuan mereka dalam menemukan Thomas). Thomas telah diinternir di kamp konsentrasi Jerman selama Perang Dunia I, karena kewarganegaraan Inggris-nya (karena ia telah lahir di Singapura). Kamp itu menjadi tempat arena pacuan kuda. Jimmie, sekarang 23 (1920) menjadi duta keluarga pertama ke Eropa. Dia ke sana, dan Thomas bertemu dengannya. Untuk sementara, pasca Perang Dunia I ekonomi Jepang runtuh. Bethell Saudara keluar dari bisnis. Harnaby telah berada di bisnis asuransi kelautan, asalkan dia dengan hubungan keluarga, dan ia telah menjadi seorang jutawan. Saudaranya Murray dalam perdagangan kapas, berbasis di Yokohama ( sebelum Gempa Besar ). Murray, istrinya Amerika, dan enam anak-anak tinggal di Bluff, atas Yokohama, di mana sebagian besar Inggris dan Amerika tinggal Pada September 1, 1923 - Sabtu Hitam - Besar Kanto Gempa melanda Yokohama dan Tokyo. Yokohama hancur, ribuan orang tewas dan ribuan lainnya oleh tsunami yang diikuti (sampai 142.000 menurut Wikipedia ). Murray meninggal ketika mencoba untuk menyelamatkan seorang dokter lumpuh. Harnaby hancur, dan minum nya semakin buruk. Pada tahun 1920 , bisnis asing telah menyusut di Jepang. Adele bisa melihat bahwa majikan Amerika-nya berada dalam kesulitan keuangan, jadi dia mencari kesempatan lain. Dia mencatat perkembangan mode di Jepang, terutama di kalangan anak-anak, beberapa di antaranya mengenakan kimono sementara yang lain mengenakan pakaian Barat. Adele diusulkan, kepada pihak berwenang tertinggi, untuk Mengadopsi seragam sekolah ... dan ini segera dilakukan. Jadi dia pergi ke bisnis seragam keputusan. Ketika dia tidak bisa menemukan penjahit di Jepang untuk menghasilkan kuantitas dibutuhkannya, ia diimpor penjahit dari Shanghai. Adele dengan cepat menjadi produsen terkemuka, dan ketika mode mengenakan seragam menyebar ke orang dewasa (termasuk internasional), ia menjadi cukup kaya juga. Adele merasa bahwa perceraian dari Harnaby diperlukan. Semua keluarganya kembali ke Inggris. Dia sangat tertekan, dan Adele bahkan telah mengutusnya untuk lembaga di Amerika Serikat dan sebuah sanatorium di Jepang. Tapi dia selalu kembali, seperti pelaut kuno! Setelah bercerai (1928? 1929?), Adele memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Jerman (meskipun Fritz menolak untuk melihat Jimmie ketika ia mengunjungi Jerman!). Jimmie telah meninggalkan Jerman untuk Inggris. Dan Matsu sekarang tinggal di sebuah rumah kecil di Tokyo bahwa Adele telah diperoleh untuknya. Rupanya Fritz tidak ingin Adele melakukan perjalanan ke Jerman. Tapi dia lakukan tetap, tiba di Hamburg pada akhir musim gugur (1930). Thomas bertemu dengannya di dermaga. Telah terjadi perseteruan antara Thomas dan Fritz, serta antara Fritz dan dua (saya pikir ada tiga) bersaudara. Adele berada di Hamburg selama seminggu penuh, dan masih Fritz tidak membuat upaya untuk melihat dia (meskipun ia hidup hanya seperempat mil jauhnya). Akhirnya bibi (adik Fritz) mengambil Adele menemuinya. Secara bertahap Fritz dihangatkan untuk melihat "Adeh San". Adele menulis surat ke Matsu malam itu sama. Adele tetap di Jerman selama berbulan-bulan, namun akhirnya meninggalkan mengetahui bahwa dia tidak pernah bisa hidup di Jerman. Di perjalanan pulang, Adele menerima kabar bahwa Matsu telah meninggal ... tapi mengetahui bahwa Fritz masih mencintainya, masih percaya pada dirinya, dan selalu memiliki. POSTSCRIPT: Meskipun Dua Go Bersama diterbitkan pada tahun 1949, cerita berakhir dengan Adele kembali ke Jepang pada akhir tahun 1930 (atau awal 1931). Berikut ini adalah sinopsis singkat dari apa yang saya tahu pemain kunci: Adele menikah lagi, kadang-kadang pada awal 1930-an, ke Choben Okamoto, ternyata seorang dermawan kaya dan penulis. Suatu saat pada 1930-an, mereka tinggal di Chicago (menurut Adele dalam bukunya). Pada akhir 1930-an, mereka tinggal di (disewa) Colvin perkebunan di 336 Sturdevant di Sierra Madre, California. Mereka milik Sierra Madre yang Penyair Masyarakat dan membuat rumah sebuah pusat kebudayaan bagi Jepang dan Jepang-Amerika (alias East-West College). Pada tahun 1940, pada malam Perang Dunia II, mereka melarikan diri ke Jepang di mana mereka tinggal sisa hidup mereka. Choben meninggal sebelum Adele (1960 atau 1970?), Namun Adele melanjutkan studinya tentang agama dan filsafat oriental. Dia menerima gelar doktor kehormatan dari filsafat dan agama dari sebuah universitas Amerika pada akhir tahun 1970 atau awal 1980-an. Dalam sebuah surat yang ditulis April 11, 1982, dia menyebutkan penglihatannya gagal. Dia tinggal melewati usia 90 (1984?). Dia tidak pernah punya anak. Thomas pernah belajar kedokteran dan hukum di Jerman. Dia bekerja sebagai bankir Warburg Bank di Hamburg, tapi melihat panggilan sejati sebagai seorang pengusaha. Dia berlari sebuah bisnis ekspor-impor dekat dermaga Hamburg dan menghabiskan bertahun-tahun (1930) antara Hamburg dan Madras, India. Dia tidak pernah menyerah kewarganegaraan Inggris, dan selama Perang Dunia II bisa tetap di Hamburg bersama keluarganya (istri dan putri Margarethe Ursula dan Erica [ibu saya]). Aku mengenalnya dengan baik, melihat dia terakhir di tahun 1969, dan mendengar dari dia terakhir pada tahun 1971 .... ketika ia menulis bahwa ia harus membuat satu perjalanan terakhir ke India ... melalui Terusan Suez (di antara dua perang Timur Tengah!) . Dia meninggal pada tahun 1974 pada usia 82. Jimmie akhirnya meninggalkan Inggris pada 1930-an dan membuat jalan ke Amerika Serikat. Dia memegang serangkaian pekerjaan sambilan, termasuk pekerjaan penjualan di Miami dan Los Angeles. Dia tetap berhubungan dengan Adele dan melihat ketika dia tinggal di daerah Los Angeles pada akhir tahun 1930 . Tapi Jimmie bilang ( ketika saya berbicara dengan dia pada akhir Januari 1971) bahwa ia merasa seperti kambing hitam keluarga , tidak pernah sesukses dua saudaranya, dan ia tinggal di latar belakang sebanyak mungkin. Tidak seperti Adele, yang mampu melarikan diri dari Amerika Serikat untuk Tokyo pada malam Perang Dunia II , Jimmie tersapu dan diinternir di Manzanar Relokasi Camp dekat Lone Pine , California . Menurut catatan di sana, Jimmie ada dua tahun penuh dari tahun 1942 hingga 1944 , ketika dia dibebaskan kepada sponsor di Chicago ( koneksi Adele ? ). Setelah perang , Jimmie kembali ke California selatan , di mana ia menikahi seorang wanita Jepang-Amerika sekitar 20 tahun lebih muda dari dia . ( ! Ketika saya terakhir bertemu pada tahun 2002 , dia masih kerja di Los Angeles County Jurusan Teknik - di lebih dari usia 80 ) Mereka punya dua anak : Arthur Imai, lahir pada tahun 1951, dan Kathy Imai - Davis, lahir pada tahun 1954 ( atau 1955 ? ). Masing-masing memiliki tiga anak. Saya tidak yakin tahun kematian Jimmie di California . Silsilah Keluarga

Rabu, 12 Oktober 2011

Asal Mula Jaro

http://utaratabalong.blogspot.com/2011/10/asal-mula-nama-jaro.html

Jumat, 07 Oktober 2011

Berbagai versi asal-usul Dayak

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Upacara kematian seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Sebelum diberlakukannya hukum penyelenggaraan upacara kematian di kalangan Suku Dayak Maanyan atau Ot Danum, kematian hanya dianggap sebagai perpindahan dari dunia fana ke dunia baru. Suatu dunia yang lebih menyenangkan, hak milik pribadi atau sempurna oleh sebab itu orang Maanyan menyebutnya
Tatau Matei (tatau:kaya, matei:mati). Jadi menurut mereka kematian hanyalah hal biasa saja yang dinamakan tulak miidar; miidar jalan; ngalih panguli hengka marunsia (pergi pindah; pindah jalan; mengalihkan kaki dari manusia) begitu sederhananya konsep kematian menurut mereka saat itu.

Konsep kematian seperti sekarang datang akibat dari perbuatan dan keinginan manusia itu sendiri. Ada sumber lisan yang tumbuh dan berkembang serta dipercayai oleh mereka yang terus menceritakan turun temurun.

Di zaman kehidupan tradisional Dayak Maanyan berlangsung ada seorang yang bernama Amang Mandur. Hidupnya serba kecukupan dan berlebihan oleh sebab itu ia diberi gelar Damang Datu Tatau. Amang Mandur ini mempunyai 7 orang isteri yang sangat setia kepadanya bernama Ine Lean, Ine Leo, Apen Payak, Apen Kangkuyu, Apen Kangkuyak, Dayang Manget dan Patiri Untu. Namun kekayaan yang serba kecukupan ini masih belum memberi kepuasan batin bagi hidupnya, ia sangat rindu untuk pergi ke dunia lain yang baru yaitu dunia yang diperuntukkan bagi mereka yang telah tatau matei. Keinginan yang begitu kuat ia beritahukan kepada semua istrinya bahwa kini telah tiba waktunya ia akan tatau matei. Pernyataan ini sangat mengherankan para istrinya karena usia Amang Mandur belum terlalu tua dan masih segar bugar. Tetapi karena keinginan ini diungkapkan dengan sungguh-sungguh mereka pun lalu mempercayai seraya mempersiapkan semua upacara pemberangkatan.

Setelah seluruh perlengkapan tatau matei sudah siap, mulailah Amang Mandur melangkah keluar rumah. Tetapi yang terjadi tubuh Amang Mandur tidak menghilang seperti kejadian tatau matei lainnya. Kejadian yang aneh itu dibiarkan oleh orang kampung, Amang Mandur terus berjalan semakin jauh memasuki hutan belantara sekelilingnya. Sehari semalam sudah berlalu tiba-tiba keesokan harinya Amang Mandur muncul dengan tertatih-tatih dan lemah lunglai naik ke atas rumah, hal ini tentu sangat mengejutkan para istrinya. Kemudian Amang Mandur bercerita bahwa ia tidak bisa menemukan jalan menuju dunia baru.

Salah seorang istrinya mengatakan bahwa peristiwa tatau matei tidak bisa dipercepat karena perasaan itu akan datang sendiri bila sudah tiba waktunya. Sejak saat itu Amang Mandur nampak sedih dan tidak bergairah menjalani hidup lebih lama lagi di dunia fana ini. Kerinduannya akan tatau matei rupanya begitu kuat dan sangat mempengaruhi hidupnya.

Akhirnya istrinya yang keenam Dayang Manget merasa kasihan lalu menyatakan pada suaminya bahwa ia mempunyai kekuatan untuk mendatangkan tatau matei tapi secara tidak wajar. Adapun caranya adalah dengan mendengar tangisannya terus menerus. Sebagai bukti ia akan menangisi pohon kelapa, Dayang Manget pun menghadap pohon kelapa tersebut lalu mulai menangisinya. Setelah ia menangis sementara orang selesai menyiapkan sirih kinangan (erang kemapit empa) mulailah berguguran buah pohon kelapa. Dan ketika ia menangis waktu orang mulai menginang (erang ka empa) daun-daun kelapa sudah layu semua berguguran. Kemudian saat ia menangis selama waktu orang menanak nasi (erang ka pangndru) keringlah pohon kelapa itu dan mati.

Dengan menyaksikan itu Amang Mandur bersedia ditangisi Dayang Manget asal ia bisa cepat pergi ke dunia baru yang diimpikannya. Amang Mandur pun mulai berbaring lurus lalu istrinya yang ketujuh bernama Patiri Untu membentangkan kain khusus dengan tali setinggi kira-kira 2,5 meter tepat di atas suaminya, kain ini nantinya akan dinamakan lalangit (sampai sekarang lalangit ini dibuat saat mayat berada di dalam rumah, baru dilepas kalau mayat sudah dikubur).

Pada saat itulah Dayang Manget menangisi suaminya dan tak lama Patiri Untu menanyai bagaimana keadaan suaminya, Amang Mandur menjawab kepalanya pusing sekali. Dayang Manget terus menangisinya, mulai ujung kaki terasa dingin dan perlahan-lahan terus menjalar ke bagian atas tubuh sampai kepala. Tak lama sesudahnya ternyata suaminya sudah tidak bernyawa lagi. Inilah yang nantinya akan disebut tatau matei neng bangkai yang artinya mati meninggalkan mayat. Kematian Amang Mandur ini merupakan kematian pertama yang mayatnya tidak hilang.

Dengan adanya kematian yang tetap meninggalkan mayat inilah akhirnya menimbulkan hukum untuk melangsungkan upacara kematian yang berkenaan dengan pengurusan mayat yang ada serta sebagai pengantar jalan bagi roh yang meninggalkan tubuh.


Sumber

Asal usul kata dayak, kalimantan, dan borneo ?

Adakah yang tau asal usul dan sejarah kenapa nama suku kita dayak ? Atau kenapa nama pulau kita Kalimantan atau yang oleh Belanda disebut Borneo ? Terus terang aku kurang tau sejarahnya dan arti nya :D mungkin ada yang tau bisa kasih informasi ke sini untuk kita sama-sama blajar :) Thx.. link : Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya Dalam hal Borneo / Kalimantan, masalahnya sesungguhnya sangat sederhana: nama aslinya Kalimantan, sedangkan nama Borneo itu berasal dari salah kaprah musafir Eropa yang menyangka Kesultanan Berunai dalam abad ke-16 menguasai seluruh pulau itu sehingga nama kesultanan yang dialihkan jadi Borneo lafalnya itu dianggap nama seluruh pulau. Tetapi kemudian ada sedikit komplikasi akibat peristiwa konfrontasi Indonesia/Inggeris-Malaysia permulaan tahun 1960-an kemarin, akhirnya timbul anggapan, bahwa nama pulaunya Borneo, sedangkan nama bagian Indonesianya Kalimantan. Letak persoalan sesungguhnya sudah pernah dikabarkan oleh J. Hunt dalam satu laporan berjudul Sketch of Borneo, or Pulo Kalamantan yang diserahkan pada tahun 1812 kepada Thomas Stamford Raffles, dan pernah dipublikasi dalam lampiran II terbitan: Henry Keppel, 1846, The Expedition to Borneo of H.M.S. Dido for the Suppression of Piracy, vol. 2. London: Chapman & Hall (lih. sana hlm. xvii). yang bisa saya kutip sbb.: The natives and the Malays, formerly, and even at this day, call this large island by the exclusive name of Kalamantan, from a sour and indigenous fruit so called. Borneo was the name only of a city, the capital of one of the three distinct kingdoms on the island. When Magalhaens visited it in the year 1520, he saw a rich and populous city, a luxuriant and fertile country, a powerful prince, and a magnificent court: hence the Spaniards hastily concluded that the whole island, not only belonged to this prince, but that it was likewise named Borneo. Keterangan ini mengandung beberapa kekeliruan, yaitu (a) yang berbuah kecut itu bukan pohon setempat yang bernama kalamantan, melainkan yang bernama berunai; (b) waktu ekspedisi pelayaran kitar bumi yang dipimpin oleh Magellan mencapai Berunai, beliau sendiri sudah mati, karena tewas dalam pertempuran dengan orang Sugbu (Cebuano) di Filipina, sedangkan yang melaporkan kedatangan di Berunai itu Anthonio Pigafetta yang menulis buku harian (di mana nama kesultanan ditulis Burné). Tetapi keterangan utama mengenai penamaan pulau itu tepat. Kalau saya tidak salah ingat, keterangan tentang nama Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau terdapat juga dalam buku harian Raja Brookes, tapi belum sempat saya mencarinya. Dalam beberapa peta Atlas karangan ahli Belanda untuk sekolah berbahasa Melayu dalam abad ke-19, pulau yang bersangkutan juga dinamakan Kalimantan. Dan, kalau saya juga tidak salah ingat, ada publikasi Gabriel Ferrand dalam bahasa Perancis pada awal abad ke-20 ini yang juga menyebut Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau. Nama Kalimantan itu rupanya sudah terdapat dalam sastra lama Melayu, yaitu misalnya, kalau tidak salah ingat, dalam Hikayat Hang Tuah. Bagaimana terjadinya Borneo? Dalam sejumlah bahasa Austronesia dalam kawasan yang mencakup Filipina, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatra, terdapat nama pohon yang berasal dari entuk induk *BuRnei, misalnya Cebuano bugnáy "jenis pohon, Antidesma bunius" Makassar bunne "jenis pohon, Antidesma sp." Sasak burne "jenis pohon, Antidesma bunius" Jawa wuni "jenis pohon, Antidesma bunius" Melayu buni "jenis pohon, Antidesma bunius" Sesungguhnya, dalam bhs. Melayu seharusnya *burni, tapi pertemuan konsonan di tengah kata seperti rn ini kerap kali menyederhana menjadi n. Selain itu, dalam salah satu bahasa atau logat rupanya ada bentuk burnai yang kemudian dipinjam ke dalam bahasa Melayu, tetapi kumpulan konsonan di tengah itu tidak hilang, melainkan mengalami metatesis yang kemudian disertai epentesis, sehingga dari *burnai liwat *brunai terjadi berunai "jenis pohon, Antidesma meurocarpum". Dari nama pohon inilah kiranya terjadi nama Kesultanan Berunai itu (sekarang lebih lazim diejakan Brunei). Adapun, mengingat nama yang kita kenal ini pernah mengalami metatesis, bisa dibayangkan bahwa nama itu pernah ada juga yang menyebutnya burnai. Khususnya, dalam satu sumber bahasa Arab nama itu kabarnya tercantum sebagai bornay. Adapun mengingat bahwa tulisan Arab jarang menyertakan tanda-tanda noktah (yang menunjuk bunyi vokal) maka mungkin juga pernah terjadi pertukaran tempat vokal itu antara brunay, burunay, burnay, dsb. (lihat Gabriel Ferrand, 1913, Relations de voyages et textes géographiques arabes, persans et turks relatifs a l'Extrême-Orient du VIIIe au XVIIIe siècles, tome I. Paris: Leroux ). Mengingat bahasa Melayu pun waktu itu memakai surat Jawi (yang berdasarkan abjad Arab) maka tidaklah mustahil kalau musafir Eropa dulu, kalau mendapatkan keterangannya dari sumber tertulis, mudah mempertukarkan tempat bunyi vokal. (perlu diingat bahwa pada akhir Abad Pertengahan dan permulaan Renaissance, kepandaian membaca huruf Arab di kalangan terpelajar di Eropa cukup tersebar luas). Salah satu sumber Eropa yang paling tua adalah memuar berbahasa Italia seorang musafir bernama Ludovico di Varthema, yang pernah mengunjungi Indonesia pada tahun 1505: <> artinya: "Setelah kami tiba di pulau Bornei, yang jaraknya dari Monoch itu sekitar 200 mil, ..." Ini kiranya mil laut yang panjangnya pada jaman itu saya kurang tahu, dan bukan mil darat yang kita kenal yang 1.6 km. Yang dimaksud dengan Monoch itu ialah yang dalam Nagarakrtagama karangan Prapanca dinamakan Maloko, dalam sumber-sumber Arab seperti misalnya Ibn Batuta dinamakan Muluk, dan dalam sumber Portugis seperti Duarte Barbosa dan Gaspar Correa, dan begitu pun dalam buku harian Anthonio Pigafetta yang berbahasa Perancis lama, dinamakan Maluco, yaitu kelima pulau cengkeh: Bacan, Makian, Mutir, Ternate dan Tidore. Nama ini, yang dalam bahasa Belanda menjadi Molukken, dalam masa administrasi kolonial Belanda diperlebar artinya sampai mencakup semua pulau-pulau antara Sulawesi dan Irian, dan pengertian inilah yang tercermin dalam pemakaian nama Maluku dalam bahasa Indonesia sekarang Sumber-sumber Eropa lebih lanjut dalam abad ke-16 menunjukkan ejaan sebagai berikut: Burné (Pigafetta) Bornei (Barbosa) Borneo (Correa). Dari ini gamblanglah riwayatnya perkembangan dari nama Berunai menjadi Borneo itu

Asal-Usul Manusia, Raja Bunu

Menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).

Raja Bunu adalah anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun. Manyamei Tunggul Garing dan Kameloh Putak Bulau merupakan menurut Hindu Kaharingan adalah manusia yang pertama kali diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Dan Raja Bunu memang diwariskan untuk menghuni bumi dengan ciri–ciri keturunannya bisa mati atau meninggal setelah keturunan ke sembilan. Ciri–ciri yang lain adalah Raja Bunu tidak bisa menginang, maka diganti makanannya diganti menjadi beras, lauk–pauk, dan lain-lain seperti makanan kita sekarang ini.

Raja Bunu dianugrahi oleh Ranying Hatalla Langit sebuah besi bernama Sanaman Lenteng. Sanaman Lenteng adalah sebuah besi yang tidak sengaja ditemukan oleh Raja Bunu sewaktu ia bermain di sungai dengan kedua saudaranya. Kedua saudara Raja Bunu itu masing–masing bernama Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang ditemukan oleh tiga bersaudara ini aneh, karena yang satu ujung besinya timbul ke permukaan air dan ujung yang lain tenggelam. Kalo dianalogikan, seharusnya seluruh batang besi itu tenggelam.

Raja Bunu secara tidak sengaja memegang ujung Sanaman Lenteng yang tenggelam dan kedua saudaranya memegang ujung yang timbul ke permukaan air, sehingga menurut ceritanya gara-gara Raja Bunu tidak sengaja memegang ujung dari Sanaman Lenteng yang tenggelam, maka kehidupannya tidak abadi seperti kedua saudaranya yang lain, yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang mereka dapati itu akhirnya dibuat menjadi Dohong Papan Benteng (sejenis alat khas yang bentuknya seperti pisau) oleh ayah mereka.

Raja Bunu dan kedua saudaranya dianugrahi juga oleh Ranying Hatalla Langit seekor burung yang bernama Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Mereka dianugrahi seekor burung itu ketika mereka sedang berada di sebuah bukit yang bernama Bukit Engkan Penyang.

Ketika mereka sudah mendapati burung itu, rupanya tiga saudara itu tidak ada yang mau mengalah dan terus berebut untuk mendapatkan burung itu. Tiba–tiba Raja Sangen menghunus dohong-nya lalu menghujamkannya ke arah burung itu. Sehingga darah burung itu pun keluar dan Raja Sangen pun berinisiatif untuk menampung darah burung tersebut ke sebuah sangku (sejenis mangkok). Dan dengan sekejap darah burung yang ditampung di dalam sangku itu pun berubah menjadi emas, berlian, dan permata.

Rupanya ayah ketiga bersaudara itu mengetahui perbuatan ketiga anaknya itu. Maka, dengan kesaktiannya sang ayah pun pergi menemui ketiga anaknya itu. Sesampainya di sana Manyamei Tunggul Garing (ayah mereka) melihat apa yang telah diperbuat oleh anaknya karena sang ayah merasa iba kepada burung itu dan takut ketiga anaknya kualat dengan Ranying Hatalla Langit atas perbuatan mereka, sang ayah pun dengan kesaktiannya menyembuhkan luka pada burung itu.

Karena rasa iri terhadap saudaranya yang mendapatkan emas, berlian, dan harta itu. Maka, Raja Sangiang pun menghujamkan dohong-nya ke arah burung itu sehingga darah burung itu pun keluar dengan derasnya dan ia pun melakukan hal yang sama yaitu mengambi sangku untuk menampung darah burung itu. Kejadiannya pun sama persis dengan yang didapatkan oleh Raja Sangen yaitu, emas, berlian, dan lain-lain. Dan ayah mereka pun akhirnya menyembuhkan luka pada burung tersebut. Sehingga burung itu pun sehat kembali.

Dan lagi–lagi keserakahan dan rasa iri itu menghinggapi Raja Bunu. Ia pun melakukan apa yang telah dilakukan oleh kedua saudaranya itu dan ia pun mendapatkan hasil yang sama seperti yang diperoleh oleh kedua saudaranya. Dan lagi–lagi sang ayah pun karena merasa iba akan burung itu maka ia pun menyembuhkan luka burung itu. Tetapi rupanya luka burung itu tidak dapat sembuh seperti sedia kala. Akhirnya burung itu terbang dengan membawa luka dan darahnya menetes membasahi wilayah itu. Darah burung yang menetes itulah yang kemudian menjadi kekayaan yang berlimpah ruah. Karena kondisi fisik burung itu yang semakin lelah dan lukanya semakin parah, burung itu pun akhirnya mati.

Akhirnya tempat burung itu mati dipenuhi dengan kekayaan yang abadi, dan menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan tempat itu disebut dengan Lewu Tatau (Surga).


OLEH BINTANG SARIYATNO

Panglima Burung

Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup--yang oleh orang Dayak Ngaju disebutDanum Kaharingan Belum.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, danmandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual--yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah--dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau--memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah--agama manapun--dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya--entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain--tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.


OLEH RUDY GUNAWAN

Rabu, 10 Agustus 2011

Cerita Manangkep Deah Tabalokng Ayoo

Hiduplah suami istri disisi hutan belantara di sungai Uwie Muara Uya. Suami istri terkenal handal memuai madu dan mereka mempunyai pohon kusi sebagai tempat lebah madu bersarang.

Singkat cerita suatu hari mereka tanpa permasalahan yang jelas bertengkar suami istri, ditengah pertengkaran tersebut sang istri berangkat kehutan untuk melakukan panen madu di pohon Kusi yang tak terlalu jauh yaitu setengah hari perjalanan bila dilakukan jalan kaki.

Memanen madu mereka sejak dulu kala dilakukan sendiri-sendiri karena kepandaianya menuai sampai membawa kekampung untuk di tukarkan dengan barang yang dibutuhkanya dalam hidup berumah tangga.

Isteri Manangkep yang pergi pagi-pagi hari tersebut dengan wajah uring-uringan setelah berkelahi suami isteri.

Rasa dongkol, kecewa dan sayang bercampur aduk di hati sang isteri. Perjalanan yang ditempuh hingga matahari tepat diatas kepala (tengah hari) tersebut dilakukannya sendiri hingga sampai di Pohon Kusi untuk dinaiki dan dipanen madunya.

Namun sampai sore hari sang isteri tidak jua kembali dan keesokan harinya pagi-pagi sang suami mencari ke pohon kusi yang didatangi oleh isterinya. Dan betapa terkejutnya ada tanda dia ada ditempat tersebut namun tidak lagi terdapat orangnya hanya bekas dan peralatan-peralatan menuai madu.

Sunyi dan senyap dirimba belantara terdengar suara perempuan yang didengar jelas oleh suami tersebut bersama anaknya yang bernama Darit. Darit beranjak dewasa tersebut merasa sekali kehilangan ibunya dan suara tadi adalah suara ibunya.

Suara tersebut berpesan bahwa ibu pindah kealam lain dan apabila anak-cucu memerlukanya tinggal panggil namanya maka dalam sekejap akan datang membantu kesusahan turunya. Wilayah yang dirawat hutan dari keluarga ini berbatasan sungai Uwie dan Kumap. Untuk mengitari tempat tersebut memang memerlukan awaktu dengan jalan kaki hingga berbulan-bulan lamanya.

Wilayah tersebut diwarisi ubtuk menjaganya secara turun menurun tak jelas sejak kakek-buyut atau diatanya lagi, tapi yang jelas sejak Manangkep dewasa tempat tersebut sudah menjadi kekuasaan dari kakeknya(orang tua Manangkep). Nama daerah tersebut adalah Bentangai Iiwat Kupang-Danum Tuar. Meliputi antara lain Nya'an, Mengkatar, Mangkukur, Gunung Gari Gading, Lonai, Ulan, Bentangai, Tumpunaen, Nyali, melunguh, betu'u, siat, benteng suing(Mensiung), sembuan lontang(Kusi bamirik), Gunung Batu Bahatap, bagian barat Gunung tengkurung dan barat Gunung batu lupu, bentuyan, batu odak, riam danum tuar. Utara berbatasa dengan Riam Danum Tuar, Barat berbatasan sungai Kumap, Selatan berbatasan dengan Kecamatan Haruai dan Bintang Ara atau ulayat Nawin dan Timur berbatasan dengan Sungai Ayoo

Kamis, 07 Juli 2011

Sekilas Tentang Asal Usul Orang Ulu Mahakam

"Sekilas Tentang Asal Usul Orang Ulu Mahakam"
Disalin Oleh : John Kenedy Bucek [BHT'02]


"Dayak" merupakan eksonim yang diberikan kepada lebih dari 200 subsuku yang tinggal di pedalaman Kalimantan berdasarkan karakteristik bahasa dan kebudayaan mereka. Ratusan subsuku ini kemudian digolongkan ke dalam beberapa kelompok utama. Salah satu dari kelompok utama ini adalah kelompok Kayan-Kenyah.

Sejumlah literatur mengatakan bahwa orang Dayak telah mendiami pulau Kalimantan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tetapi Kayan dan Kenyah sendiri diperkirakan baru pindah dari daratan Asia Timur (China Selatan) kurang dari 900 tahun lalu. Menurut penuturan orang Kenyah Lepo Taw, raja Akalura* dari Tiongkok mengirim dua kapal ke Kalimantan. Satu kapal, milik nenek moyang orang Kayan, mendarat di Brunei. Kapal yang satunya lagi, milik nenek moyang orang Kenyah, membawa mereka ke sungai Baram (Sarawak) lalu menetap di sana. Itulah sebabnya orang Kayan dan orang Kenyah memiliki banyak sekali kemiripan dalam bahasa dan kebudayaan. Sebelum abad ke-15, orang Kayan yang telah menetap di Brunei bermigrasi ke wilayah pedalaman Kalimantan. Ada yang menetap di Apo Duat (sekitar gunung Murut dan sungai Baram), ada juga yang ke wilayah Usun Apau (sekitar sungai Tinjar dan Baluy). Gelombang migrasi selanjutnya terjadi dari abad 16-18, di mana orang Kayan memasuki lalu mendiami Apau Kayan, sungai Kayan dan sungai Bahau. Gelombang migrasi terakhir terjadi selama abad ke-18 hingga abad ke-20, di mana mereka menganeksasi wilayah-wilayah baru spt sungai Malinau, sungai Sesayap, sungai Segah, sungai Kelinjau, sungai Telen dan Wehea, sungai Belayan, sungai Mahakam, dan sungai Medalam. Tetapi ada juga orang Kayan yang berbalik arah ke Sarawak lalu menetap di sekitar sungai Baleh, sungai Baluy, sungai Tinjar dan sungai Baram. SUPREMASI ORANG KAYA:N DI MASA LALU Dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, orang Kayan atau Kaya:n (dlm dialek asli) memiliki pengaruh yang luar biasa di Sarawak dan Kalimantan Timur. Mereka dikenal sebagai pemburu kepala manusia (headhunters = ayau kung) yang sangat agresif. Hal ini menyebabkan kawasan yang berada dalam kendali mereka, mulai dari wilayah pantai barat laut (Sarawak) sampai ke pantai timur laut (Berau dan Bulungan) Pulau Kalimantan, berada dalam keadaan teror. Mereka menduduki berbagai wilayah baru, mengganti nama tempat dan sungai, serta menyebabkan berbagai suku2 yang bermukim lebih dulu melarikan diri. Di wilayah ulu sungai Mahakam, orang Kaya:n membuat orang2 Ot Danum, Bukat, Penihing, Punan, Murut dan Maloh terpaksa menyingkir ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah atau memilih tunduk menjadi pengikut orang Kaya:n. Sedangkan Mahakam bagian tengah telah lebih dulu dianeksasi oleh orang Kaya:n yang datang dari sungai Belayan. Hal ini memicu orang2 Tunjung dan Benuaq, yang merupakan penduduk lokal wilayah tersebut, lari ke dataran tinggi dan ke Kalimantan Tengah. Di bagian utara Kalimantan Timur, orang2 Burusu dan Tenggalan yang menetap di sungai Kayan dan Sesayap, terpaksa menyingkir ke kawasan pantai timur Kalimantan karena mendapat serangan dari orang Kaya:n. Sementara di wilayah Sabah, dimana orang2 Kaya:n sendiri tidak pernah menetap, mereka juga melakukan serangan sengit terhadap orang2 Tidung, Sulu dan Bajau. Keahlian dan pengalaman berperang, mobilitas yang tinggi, ditambah kemampuan mengumpulkan hasil2 hutan, membuat orang Kaya:n menjadi penguasa sesungguhnya di pedalaman Kalimantan Timur selama hampir 300 tahun. Tetapi para pemerintah kolonial Spanyol, Inggris dan Belanda hanya bersedia mengakui kekuasaan yang dipegang oleh orang yang bergelar sultan, bukan kekuasaan yang dipegang oleh para kepala suku Kaya:n. Kontrak dagang para kolonial pun hanya dilakukan dengan pihak2 yang diakui kekuasaannya tadi. Karena itulah dalam buku2 sejarah Kalimantan, orang Kaya:n tidak pernah disebut sebagai penguasa di wilayah ini seperti halnya suku Melayu (Brunei, Kutai, Bulungan, Berau) dan Tidung. SIAPA SEBENARNYA ORANG KAYA:N INI? Berdasarkan karakteristik bahasa, kultur dan latar belakang sejarahnya, orang Kaya:n terbagi atas tiga kelompok (subgroups): 1). Kelompok Berbahasa Ga'ay/Mengga'ay Di wilayah sungai Mahakam, yang masuk kelompok ini adalah: Long Glat, Long Huvung Lama dan Keliway. Di wilayah sungai Kayan, ada Seloy/Gong Kiya:n dan Long Ba'un. Di Muara Ancalong ada orang Long Way spt: Long Nah, Melean, dan Long Bentuk. Di sungai Segah ada Long La'ay dan Long Ayan. Saat ini, dialek asli Long Huvung Lama, Keliway, Melean dan Seloy nyaris hilang karena adanya asimilasi yang panjang dengan berbagi kelompok, spt Bahau, Busa:ng, dll. Menurut riwayat, ada dua versi yang menjelaskan asal-usul etnonim Ga'ay. Versi pertama, orang Ga'ay sendiri mengatakan bahwa Ga'ay diambil dari "gay" (mandau) karena mereka sering menggunakan mandau ini untuk meng-ayau. Versi kedua menurut orang Kenyah Lepo Taw menyebutkan bahwa Ga'ay berasal dari kata "ba'ay" yang artinya "orang ilir". Karena ketika sama2 tinggal di sungai Baram, orang Lepo Taw menempati wilayah ulu dan orang Ga'ay yang datang kemudian mendiami wilayah ilir atau muara sungai. Bila melihat karekteristik orang Ga'ay yang sangat mahir dalam membuat mandau, suka meng-ayau dan sering menetap di bagian hilir sungai, kedua etimologi di atas dapat diterima. 2). Kelompok Berbahasa Kaya:n Mereka ini sebagian besar berasal dari sungai Baram bagian selatan dan telah menggunakan endonim "Kaya:n" di sana. Dalam bahasa mereka, "Kaya:n" berarti "tempat kami" atau "wilayah kami". Saat ini, kelompok berbahasa Kaya:n telah menjadi kelompok yang tersebar luas di Kalimantan. Tengok di Kalimantan Timur, ada Uma:' Suling, Uma:' Lekwe, Uma:' Tua:n, Uma:' Wak, Uma:' Laran, U. Lekan (termasuk U. Lasa:n, U.Teliva', Miau Baru), dll. Sementara di Kalimantan Barat ada Uma:' Aging, Uma:' Pagung, dll. Kelompok Kaya:n ini juga tersebar di berbagai tempat di Sarawak, spt di Sungai Balui, Sungai Baram, Sungai Tinjar, dll. Dalam kelompok orang2 yang berbahasa Kaya:n ini ada kelompok lain yang menggunakan etnonim berbeda. Mereka menyebut dirinya dengan endonim "Busa:ng", diambil dari tempat tinggal mereka sebelum migrasi ke Apau/Apo Kaya:n, yaitu sungai Busa:ng di kawasan ulu sungai Baram. Okushima menyebut mereka dengan eksonim Kaya:n-Busa:ng. 3). Kelompok Berbahasa Bahau Kelompok ini yang paling banyak memiliki dialek karena ukuran kampungnya yang kecil-kecil, dan setiap kampung punya dialek sendiri. Yang termasuk kelompok Bahau adalah Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dan Hwang Boh di Mahakam. Sedangkan orang Ngorek, lalu Pua' yang mendiami bagian hilir dan tengah sungai Kayan, serta Merap di Malinau, juga termasuk kelompok Bahau. Pada umumnya orang Bahau menggunakan endonim Baw (atau Bao:, Bao, Wehea) ditambah kata "Hwang" (orang) di depannya, mis: Hwang Baw. Belum jelas benar sejak kapan pertama kali endonim Bahau digunakan. Apakah setelah mereka bermigrasi ke sungai Bahau yang terletak di kawasan utara sungai Kayan atau dibawa sejak dari sungai Baram. Tetapi menurut orang Kenyah, nama asal Bahau adalah "Baw" karena mereka tinggal di dataran tinggi (baw, bao:, bo:, yg artinya "tingi") kawasan Baram. SATU KELOMPOK BANYAK NAMA

Dalam sejarah orang Kaya:n, sering terjadi kebingungan karena perubahan etnonim, nama tempat dan nama sungai. Hal ini terjadi karena dua sebab:

1). Karena masa yang panjang (berabad-abad) dan pengaruh dialek lokal.
2). Sengaja diubah, misalnya untuk membedakan satu kelompok dari kelompok lainnya atau karena alasan lain. Etnonim Kaya:n misalnya, dalam berbagai dialek diucap secara berbeda. Orang Melayu menyebutnya Kayan. Sedangkan dalam bahasa Ga'ay, disebut Keji:n (Long Way), Kiya:n (Long La'ay), dan Kejuyn (Long Glat). Kelompok berbahasa Ga'ay sendiri mendapat berbagai eksonim. Para sultan Bulungan dan Berau memberi mereka eksonim Segai/Segei/Segai-i karena berasal dari sungai Segah. Sedangkan oleh para sultan Kutai, karena sulit melafal Medaeng (Long Way), lalu memberi eksonim Modang. Sementara orang Wehea yang merupakan kelompok Ga'ay-ized Bahau, oleh orang Melayu diberi eksonim Wahau. Orang Tering yang termasuk dalam kelompok Bahau memakai endonim Hwang Tri:ng. Sementara itu, ada sub kelompok dalam Hwang Tri:ng memakai endonim Tembaw (ita:m baw = kita orang Bahau). Di wilayah Bulungan, orang Bahau memperoleh eksonim Ngorek atau Murik dari orang Kenyah. Contoh lain lagi adalah orang Kaya:n-Busa:ng yang turun dari Apau Kaya:n ke sungai Mahakam, lalu menetap di kawasan hulu dan tengah. Mereka memakai endonim Bahau Busa:ng untuk membedakan kelompok mereka dari kelompok Bahau yang mendiami Mahakam bagian tengah, spt Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dll. Lalu orang Bahau sendiri menyebut kelompok mereka dengan endonim Bahau Sa' (sa'= asli). Perubahan etnonim terjadi pula pada kelompok Murut (berasal dr Sarawak) yang lebih dulu bermigrasi dan mendiami kawasan ulu sungai Mahakam, tetapi dengan alasan berbeda. Mereka berasimilasi dengan orang Kaya:n yang datang kemudian sehingga menjadi Kayan-ized Murut dan memakai etnonim Kayan. Oleh Okushima, mereka ini disebut Kayan Meka:m. Kampung Long Melaham, Uma:' Urut dan Bang Kelaw termasuk dalam kelompok Kayan Meka:m. Barangkali alasan dibalik perubahan etnonim ini adalah agar mudah beraliansi dan memperoleh proteksi dari orang Kaya:n yang telah mendominasi wilayah tersebut. Nampaknya, perubahan etnonim orang Murut menjadi Kayan ini pula yang menjadi alasan lain bagi orang Kaya:n-Busa:ng memakai endonim Bahau Busa:ng. DEMOGRAFI SECARA UMUM Pada umumnya orang Kaya:n mendiami kawasan di sepanjang pinggiran aliran sunggai. Di Kalimantan Timur misalnya, kampung2 orang Kaya:n ada di bagian ulu dan tengah sungai Mahakam, di bagian ilir sungai Kayan dan sungai Belayan, sungai Kelinjau, di ilir sungai Wehea (Wahau) dan sungai Telen, sungai Kelai ilir, sungai Segah, sungai Bahau bagian ulu dan tengah, sungai Malinau, dan sungai Sesayap. Di Kalimantan Barat, mereka menetap di sepanjang sungai Medalam. Sedangkan di Sarawak, kampung2 orang Kaya:n ada di sungai Baram, sungai Baluy, sungai Tinjar, dll. Total populasi orang Kaya:n saat ini di Kalimantan Timur diperkirakan sekitar 40-50 ribu jiwa. Mereka tersebar di lebih dari 70 desa yg ada di 20 kecamatan dalam 5 kabupaten. Dari sumber2 tidak resmi, di Kalimantan Barat jumlah orang Kaya:n sekitar 2000 jiwa, sementara di Sarawak sekitar 40 ribu jiwa. Bila orang Kaya:n yang ada di luar Kalimantan dimasukkan juga, secara kasar jumlah orang Kaya:n saat ini ada sekitar 100 ribu jiwa atau kurang dari 1% dari total populasi Pulau Kalimantan yang berjumlah sekitar 17 juta (Indonesia dan Malaysia). PENUTUP Kaya:n dan Kenyah ibarat dua saudara kandung yang berbeda karakternya. Keluarga Kaya:n yang memiliki tiga anak bernama Ga'ay, Kaya:n dan Bahau, nampaknya cenderung lebih kasar dan agresif dibandingkan saudaranya, Kenyah. Karena itulah dalam sejarahnya, orang Kaya:n sangat suka berperang (meng-ayau) dan menaklukkan berbagai wilayah baru di pedalaman Kalimantan Timur yang didiami berbagai suku, spt Ot Danum, Punan, Bukat, Panihing, Murut, Maloh, Burusu, Tenggalan, Tidung, Tunjung, Benuaq, dan Melayu (Kutai, Berau, Bulungan). Melihat total populasi orang Kaya:n saat ini yang hanya 100 ribu jiwa, maka 100-400 tahun lalu jumlah mereka dipastikan jauh lebih sedikit lagi, mungkin di bawah 10 ribu jiwa. Meskipun dengan jumlah demikian, orang Kaya:n mampu menguasai kawasan yang luas di Kalimantan Timur dan Sarawak selama ratusan tahun. Sementara total populasi penduduk dalam wilayah taklukan bisa jauh melebihi populasi orang Kaya:n sendiri. Lalu di mana letak kekuatan mereka? Kita akan coba telaah dalam tulisan mendatang. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Ibu Mika Okushima, Ph.D. dari Tokyo, Japan, yang telah berbaik hati mengirim referensi tentang sejarah etnik Kaya:n dan Tidung kepada saya. Catatan kaki: Baik orang Kenyah Lepo Taw maupun orang Ga'ay Long Way, sama2 menekankan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tiongkok. Saat terjadi migrasi ke Pulau Kalimantan, Tiongkok diperintah oleh raja Akalura. Tetapi siapa raja ini? Belum diketahui dengan jelas.