Selamat datang di Web ini,

Cerita Rakyat ini dipersembahkan agar kita mengetahui adat-istiadat. banyak kelemahan dan kekurangan. Web ini sub Domain Dari LangsaT Borneo.
Pencerahan dan saran pendapat silahkan kirim email ke whyank@gmail.com

Jumat, 07 Oktober 2011

Asal usul kata dayak, kalimantan, dan borneo ?

Adakah yang tau asal usul dan sejarah kenapa nama suku kita dayak ? Atau kenapa nama pulau kita Kalimantan atau yang oleh Belanda disebut Borneo ? Terus terang aku kurang tau sejarahnya dan arti nya :D mungkin ada yang tau bisa kasih informasi ke sini untuk kita sama-sama blajar :) Thx.. link : Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya Dalam hal Borneo / Kalimantan, masalahnya sesungguhnya sangat sederhana: nama aslinya Kalimantan, sedangkan nama Borneo itu berasal dari salah kaprah musafir Eropa yang menyangka Kesultanan Berunai dalam abad ke-16 menguasai seluruh pulau itu sehingga nama kesultanan yang dialihkan jadi Borneo lafalnya itu dianggap nama seluruh pulau. Tetapi kemudian ada sedikit komplikasi akibat peristiwa konfrontasi Indonesia/Inggeris-Malaysia permulaan tahun 1960-an kemarin, akhirnya timbul anggapan, bahwa nama pulaunya Borneo, sedangkan nama bagian Indonesianya Kalimantan. Letak persoalan sesungguhnya sudah pernah dikabarkan oleh J. Hunt dalam satu laporan berjudul Sketch of Borneo, or Pulo Kalamantan yang diserahkan pada tahun 1812 kepada Thomas Stamford Raffles, dan pernah dipublikasi dalam lampiran II terbitan: Henry Keppel, 1846, The Expedition to Borneo of H.M.S. Dido for the Suppression of Piracy, vol. 2. London: Chapman & Hall (lih. sana hlm. xvii). yang bisa saya kutip sbb.: The natives and the Malays, formerly, and even at this day, call this large island by the exclusive name of Kalamantan, from a sour and indigenous fruit so called. Borneo was the name only of a city, the capital of one of the three distinct kingdoms on the island. When Magalhaens visited it in the year 1520, he saw a rich and populous city, a luxuriant and fertile country, a powerful prince, and a magnificent court: hence the Spaniards hastily concluded that the whole island, not only belonged to this prince, but that it was likewise named Borneo. Keterangan ini mengandung beberapa kekeliruan, yaitu (a) yang berbuah kecut itu bukan pohon setempat yang bernama kalamantan, melainkan yang bernama berunai; (b) waktu ekspedisi pelayaran kitar bumi yang dipimpin oleh Magellan mencapai Berunai, beliau sendiri sudah mati, karena tewas dalam pertempuran dengan orang Sugbu (Cebuano) di Filipina, sedangkan yang melaporkan kedatangan di Berunai itu Anthonio Pigafetta yang menulis buku harian (di mana nama kesultanan ditulis Burné). Tetapi keterangan utama mengenai penamaan pulau itu tepat. Kalau saya tidak salah ingat, keterangan tentang nama Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau terdapat juga dalam buku harian Raja Brookes, tapi belum sempat saya mencarinya. Dalam beberapa peta Atlas karangan ahli Belanda untuk sekolah berbahasa Melayu dalam abad ke-19, pulau yang bersangkutan juga dinamakan Kalimantan. Dan, kalau saya juga tidak salah ingat, ada publikasi Gabriel Ferrand dalam bahasa Perancis pada awal abad ke-20 ini yang juga menyebut Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau. Nama Kalimantan itu rupanya sudah terdapat dalam sastra lama Melayu, yaitu misalnya, kalau tidak salah ingat, dalam Hikayat Hang Tuah. Bagaimana terjadinya Borneo? Dalam sejumlah bahasa Austronesia dalam kawasan yang mencakup Filipina, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatra, terdapat nama pohon yang berasal dari entuk induk *BuRnei, misalnya Cebuano bugnáy "jenis pohon, Antidesma bunius" Makassar bunne "jenis pohon, Antidesma sp." Sasak burne "jenis pohon, Antidesma bunius" Jawa wuni "jenis pohon, Antidesma bunius" Melayu buni "jenis pohon, Antidesma bunius" Sesungguhnya, dalam bhs. Melayu seharusnya *burni, tapi pertemuan konsonan di tengah kata seperti rn ini kerap kali menyederhana menjadi n. Selain itu, dalam salah satu bahasa atau logat rupanya ada bentuk burnai yang kemudian dipinjam ke dalam bahasa Melayu, tetapi kumpulan konsonan di tengah itu tidak hilang, melainkan mengalami metatesis yang kemudian disertai epentesis, sehingga dari *burnai liwat *brunai terjadi berunai "jenis pohon, Antidesma meurocarpum". Dari nama pohon inilah kiranya terjadi nama Kesultanan Berunai itu (sekarang lebih lazim diejakan Brunei). Adapun, mengingat nama yang kita kenal ini pernah mengalami metatesis, bisa dibayangkan bahwa nama itu pernah ada juga yang menyebutnya burnai. Khususnya, dalam satu sumber bahasa Arab nama itu kabarnya tercantum sebagai bornay. Adapun mengingat bahwa tulisan Arab jarang menyertakan tanda-tanda noktah (yang menunjuk bunyi vokal) maka mungkin juga pernah terjadi pertukaran tempat vokal itu antara brunay, burunay, burnay, dsb. (lihat Gabriel Ferrand, 1913, Relations de voyages et textes géographiques arabes, persans et turks relatifs a l'Extrême-Orient du VIIIe au XVIIIe siècles, tome I. Paris: Leroux ). Mengingat bahasa Melayu pun waktu itu memakai surat Jawi (yang berdasarkan abjad Arab) maka tidaklah mustahil kalau musafir Eropa dulu, kalau mendapatkan keterangannya dari sumber tertulis, mudah mempertukarkan tempat bunyi vokal. (perlu diingat bahwa pada akhir Abad Pertengahan dan permulaan Renaissance, kepandaian membaca huruf Arab di kalangan terpelajar di Eropa cukup tersebar luas). Salah satu sumber Eropa yang paling tua adalah memuar berbahasa Italia seorang musafir bernama Ludovico di Varthema, yang pernah mengunjungi Indonesia pada tahun 1505: <> artinya: "Setelah kami tiba di pulau Bornei, yang jaraknya dari Monoch itu sekitar 200 mil, ..." Ini kiranya mil laut yang panjangnya pada jaman itu saya kurang tahu, dan bukan mil darat yang kita kenal yang 1.6 km. Yang dimaksud dengan Monoch itu ialah yang dalam Nagarakrtagama karangan Prapanca dinamakan Maloko, dalam sumber-sumber Arab seperti misalnya Ibn Batuta dinamakan Muluk, dan dalam sumber Portugis seperti Duarte Barbosa dan Gaspar Correa, dan begitu pun dalam buku harian Anthonio Pigafetta yang berbahasa Perancis lama, dinamakan Maluco, yaitu kelima pulau cengkeh: Bacan, Makian, Mutir, Ternate dan Tidore. Nama ini, yang dalam bahasa Belanda menjadi Molukken, dalam masa administrasi kolonial Belanda diperlebar artinya sampai mencakup semua pulau-pulau antara Sulawesi dan Irian, dan pengertian inilah yang tercermin dalam pemakaian nama Maluku dalam bahasa Indonesia sekarang Sumber-sumber Eropa lebih lanjut dalam abad ke-16 menunjukkan ejaan sebagai berikut: Burné (Pigafetta) Bornei (Barbosa) Borneo (Correa). Dari ini gamblanglah riwayatnya perkembangan dari nama Berunai menjadi Borneo itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar