Disalin Oleh : John Kenedy Bucek [BHT'02]
Legenda ini berasal dari daerah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Tepatnya di daerah penduduk atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut Murung dan di daerah penduduk kampung Talung Nyaling. Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu ini asal mulanya ada di tanah Kayangan atau Danum Songiang.
Di tanah kayangan telah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki ceritanya pada suatu hari kedua perempuan cantik ini turun kedunia atau anak Danum Kolunon untuk melihat dan mengamat-ngamati keadaan yang ada di anak Danum kolunon. Ketika sedang berjalan kedua perempuan cantik ini melihat bahwa di dunia atau anak Danum kolunan banyak sekali tempat-tempat yang sepi tidak ada sama sekali penghuninya. Sedang ketika kedua perempuan itu berjalan lagi ia melihat bahwa ada sekelompok manusia atau kolunon yang mendiami tempat tersebut.
Dalam hati kedua perempuan cantik itu bertanya kenapa di dunia manusia banyak sekali tempat-tempat sunyi dan sepi tidak ada penghuninya. Maka bersedihlah hati kedua perempuan yang bernama Bura dan Santaki itu. ketika kembali lagi ketanah kayangan, siang dan malam kedua perempuan itu merenungkan apa yang harus mereka perbuat. Supaya di dunia tidak ada lagi tempat sepi yang tidak ada penghuninya. Setelah berhari-hari kedua perempuan cantik itu memutuskan untuk menurunkan “Tana Malai Tolung Lingu tau petak Malai Buluh Merindu ke dunia atau anak Danum Kolunon sebagai songkolasan-songkolimo anak kolunon di muka bumi atau pindah ondou.Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu adalah benda keramat milik manusia di tanah kayangan.
Tana Malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh burung elang dari seluruh penjuru alam dimana ia pernah singgah. Tana Malai ini dikatakan tanah keramat, tanah ini menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia terbang kea lam bebas dan pada saat kembali tanah itu akhirnya menumpuk dan akhirnya menjadi tempat burung elang itu tinggal atau menjadi tempat sarangnya.
Tana Malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan. Konon cerita Tana Malai ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut.
Seperti halnya burung elang, walau kemanapun ia pergi atau seberapa jauh burung elang itu pergi, burung elang akan berusaha kembali kesarangnya, yang dikarenakan pengruh dari Tana Malai atau Petak keramat tersebut yang menempel pada kakinya dan kemudian menjadi tempat sarangnya. Sedangkan Buluh merindu adalah bambu.
Pada suatu hari di tanah kayangan kedua perempuan cantik “ Bura dan Santaki pun menurunkan ke dunia atau pindah Ondou atau anak Danum kolunon Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu”. Bura Hoburup atau ngipas pertama Tana Malai Tolung Lingu atau menurunkan Tana Malai Tolung Lingu ke dunia yang jatuh tempatnya di Gunung Pancung Ampang Hulu Barito. Selatan itu yang kedua Santaki Hoburuh atau ngipas atau menurunkan Tana Malai Tolung lingu yang jatuh di Gunung Bondang tepatnya di hulu Sungai Laung Tana Malai Tolung lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini telah ditemukan oleh orang di dunia atau anak kolunon panda ondou.
Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini di temukan oleh penduduk wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu yang berada di daerah pedalaman sekitar tahun 1720 dan 1721.
Sekitar tahun 1720 Nyahu bin Sangen dan Conihan penduduk yang pertama kali menemukan Tana Malai Tolung Lingu. Kedua orang ini masing-masing merupakan penduduk kampung suku siang Kono atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut murung.
Keadaan penduduk suku siang kono pada waktu itu sangat primitive sekali baik cara berpakaian bahkan kondisi keberadaan mereka. Penduduk suku kono terkenal dengan daun telingga mereka yang lebar dan panjang yang disebabkan oleh benda-benda berat yang sengaja digantung pada dan telingga mereka sebagai anting agar tampak cantik bagi kaum perempuannya. Benda-benda itu berupa kayu, atau tulang-tulang binatang atau emas atapun perak. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-menurun dari nenek moyang mereka selain itu penduduk kampung suku kono pada zaman dahulu tidak mengunakan bersama selayaknya manusia pada zaman sekarang.
Tetapi mereka hanya mengunakan penutup badan yang tebuat dari serat-serat kayu disebut juga dengan enah yang hanya digunakan untuk menutupi tubuh di daerah sekitar kemaluannya.
Kehidupan penduduk suku kono pada saat itu hanya mengandalkan mata pencaharian berburu dan bercocok tanam secara berpindah-pindah
Pada tahun 1720 penduduk Suku Siang Kono yang bernama Nyahu Bin Sangen dan Conihan melakukan perjalanan untuk mencari sarang Burung ke Liang Gunung pancung Ampang yang tepatnya berada di antara Hulu Sungai Karamu dan Sungai Busang dan juga Hulu Sungai Chan anak Sungai Mahakam mati yang terdapat di Gunung Pancung Ampang yang di namai Cahai Uhai. Di puncak Gunung Pancang Ampanglah Nyahu Bin Sangen dan Conihan berusaha untuk mencari Tana Malai di sekitar Gunung Pancung Ampang itu kedua orang penduduk suku kono impun menemukan juga Tana Malai atau petah malai di lereng gunungPancung Ampang yang terdapat pada dinding atau batu lereng gunung ampang tersebut.
Untuk dapat mengambil Tana Malai, Nyahu Bin sangen dan Conihan terlebih dulu mengambil Tolung Ling yang telah mereka temukan. Kemudian barulah Nyahu Bin Sangen dan Conihan dapat mengambi Tanah Malai dengan Tolung Lingu mereka berdua mengambil Tana Malai dengan cara menyambung-menyambungkan Tolung Lingu dan dengan bagian ujung atas bambu Tana Malai diambil. konon cerita Tana Malai di ambil dengan mengunakan Tolung Linggu dikarenakan jarak antara Tana Malai berada di tempat tinggi di atas permukaan tanah tempat Nyahu Bin Sangen dan Colihan berdiri sehingga mereka mengunakan tolung lingu yang disambung-sambungkan hingga menjadi panjang dan juga dikarenakan Tana Malai tidak dapat sembarang di sentuh oleh orang. Tana Malai di ambil dengan bambu atau tolung Lingu dan masuk ke dalam Tolung Lingu atau bambu tesebut melalui bagian ujung atas bambu.
Ketika telah menemukan Tana Malai Tolung Lingu, Nyahu Bin Sangen memutuskan untuk kembali ke kampungnya untuk menceritakan kejadian itu kepada penduduk kampung mereka. Setelah melalui perjalanan yang Nyahu Bin Sangen dan conihanpun akhirnya sampai di kampungnya.
Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada Tua-tua adat dan penduduk lainnya kemudian Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu bagi Suku Siang Kono dijadikan Songkolasan-Songkolimo atau pemikat atau penakluk hati. Konon ceritanya setiap orang asing atau tamu yang datang ke Hulu Barito, kalau mereka mandi atau minum air sungai barito mereka akan merasa lingo-lingo atau rasa ingin pulang kembali ke tempat asaalnya akan ditunda-tunda atau nanti-nanti saja dalam hatinya pada akhirnya tidak jadi pulang kembali ketempat asalnya tetapi akan kimpoi dan hidup menetap atau tinggal di Hulu Barito bersama dengan penduduk asli suku siang, punan, panyawung, ut Danum dan lain-lain. Sebab itu di Hulu Barito sekarang banayak sekali suku pendatang yang menetap disana.
Kemudian pada tahun 1721 Tana Malai Tolung Lingu telah di temukan oleh penduduk suku Siang Murung kampung Taluu Nyaling yang bernama “Nyaman” dan “Talawang Amai Meteh”. Tana Malai Tolung Lingu di temukan di gunung Bondang tepatnya di hulu sungai laung.
Kedu orang ini berjalan ke gunung Bondang, bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat atau petunjuk yang baik agar memperoleh hidup sukses. Setelah melakukan perjalanan yang cukup dari kampungnya berhari-hari, kedua orang itu pun’ Nyaman dan Talawang Amai Meteh “akhirnya sampailah pada puncak gunung Bondang yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang ada di daerah tersebut atau daerah murung Raya taua Puruk Cahu sekarang.
Gunung Bondang yang paling tinggi itu disebut Lapak Pati.
Ketika Nyaman dan Talawang Amai Meteh telah berada di puncak Gunung Bondang di jumpailah Tolung lingu yang hidup di pncak Gunung Bondang tersebut. Kemudian mereka berdua mengambil Tolung Lingu dan mencari Tana Malai petak Malai dan akhirnyapun “Nyaman dan Talawang Amai Meteh” mendapatkannya.
“Nyaman dan Talawang Amai Meteh” telah menemukan Tana Malai buluh merindu sehingga mereka berdua memutuskan untuk membatalkan keinginan mereka untuk balampah atau bersemedi tetapi memutuskan untuk kembali ke kampung mereka kedua orang penduduk Suku Siang Murung ini melakukan perjalanan kembaali dengan melewati hutan belantara dan semak belukar dengan waktu yang berhari-hari. Sesampainya di kampung kedua orang itu menceritakan tentang Tana Malai Tolung Lingu yang telah mereka temukan kepada Tua-tua adat dan penduduk kampung mereka.
Tana Malai Tolung Lingu atau Petak Malai Buluh Merindu itu dijadikan Songkolasan-songkolimu penduduk Suku Siang Murung. Maka sebab itu kalau ada orang pendatang atau tamu yang mandi dan minum ari Sungai Laung, lalu merasa lingo-lingo atau lupa-lupa ingin pulang atau kembali ke daerah asalnya dan akhirnya menetap kimpoi dan menetap bersama penduduk asli di Hulu Sungai Laung yang sekarang menjadi Bumi Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.
Sampai pada saat inipun legenda ni masih di percaya oleh masyarakat di sepanjang sungai Barito Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Demikian Legenda rakyat Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar