A. legenda Dayak Lundayeh
Sampai saat ini belum ada penelitian ke dalam asal dayak Lundayeh yang dapat digunakan sebagai acuan yang akurat. Namun, menurut legenda bahwa nenek moyang dayak Lundayeh berasal dari daratan Cina yang pindah ke Kalimantan bumi berabad-abad lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan objek dari warisan budaya dalam masyarakat Dayak Lundayeh, seperti tabu (kendi), ruby (tempayan), proslen patung, penciuman (Manik) dari Cina dan felepet (sejenis pedang samurai).
Bapak melewati sungai Sesayap dayak Lundayeh. Budaya mereka yang hidup nomaden atau pindah dari satu daerah ke daerah lain dengan cara mudik ke hulu sungai. Budaya alasan pindah ke rumah ini, adalah: pertama karena musuh, dan kedua untuk mencari lahan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada beberapa tempat yang diperkirakan pernah menjadi tempat tinggal nenek moyang dayak Lundayeh, yaitu di kawasan Seputuk dan Kebiran. Dua di daerah ini dan menemukan sebuah kuburan tua Ulin batang digunakan dipotong-potong orang tua. Akibatnya, ada yang menyebutkan bahwa orang Mentarang suku Putuk.
Sumpah tulang virus' merupakan salah satu legenda dari orang-orang yang pertama diberitahu bahwa era dua saudara, laki-laki dan perempuan yang tinggal di Malinau. Untuk alasan keamanan dari kejaran musuh, yang kakak adik putri permintaan mudik ke hulu sungai dan saudara yang masih tinggal di Malinau. Kakak yang bersumpah dengan tulang badi '(seperti sumpah Palapa Mahapati Gajah Mada): "Itu tidak akan ada yang diizinkan masuk ke hulu sungai untuk kehidupan saudara perempuanku dan Sembuak sungai ini adalah batas."
Sejak saat itu pada adik perempuan mudik ke hulu sungai dan menanggung-pinak di sana. Sementara itu, saudara laki-laki yang masih hidup dan merupakan cucu dari Malinau. Sesuai dengan sumpah, maka saudara tidak menjaga pintu masuk ke hulu ke adiknya. Sampai saat ini kembali ke-install-air sederas apapun kepercayaan akan berhenti di muara sungai Sembuak.
Legenda sumpah tulang badi 'ini dipercaya menjadi cikal-bakal umat manusia di Malinau Tidung dari saudara laki-laki, dan etnis Putuk atau Lundayeh adik perempuan di hulu sungai.
B. Pencantuman dari Agama Kristen
Sebelum menjadi Kristen Mentarang dan wilayah Krayan, masyarakat dayak Lundayeh pemeluk animisme. Mereka percaya pada kekuatan alam-gaib, seperti yang menyembah roh-roh nenek moyang dan benda-benda suci lainnya.
Untuk membela diri mereka sendiri atau mencari wilayah kehidupan, orang tidak segan-segan untuk febunu '(perang) dengan masyarakat lainnya. Jika anda ingin seorang laki-laki yang dianggap kuat, maka dia akan pergi ke daerah musuh untuk mengayau (potong kepala).
Pada tahun 1932 yang dai cma (Christian Missionary Aliance) berkebangsaan Amerika Serikat bernama EW Presswood Wahyu dengan isterinya Fiolla Presswood ke area umum dayak Lundayeh di Krayan menyebar Mentarang dan Kekristenan. Pada awalnya, orang-orang di kurang Mentarang menanggapi ajaran agama Kristen, dan sulit untuk membuang kebiasaan yang sudah mengakar turun temurun. Namun, dengan kesabaran dan dengan sungguh-sungguh tinggi, terus menyampaikan berita Presswood menyelamatkan manusia dari dosa dan gereja-layanan rutin di rumah di kawasan Mentarang ke Krayan.
Ny pada tahun 1938. Fiola Presswod meninggal di Long berang. Misi oleh cma, Presswood diberi waktu untuk meninggalkan rumah untuk USA dan sisanya menenangkan diri. Presswood bukan dikirim pada tahun 1939, di Wahyu Yohanes Willfinger untuk melanjutkan misi Kristen di wilayah Mentarang dan Krayan.
Pada saat Perang Dunia II pecah, tentara Jepang di Tarakan bermarkas datang ke Long John untuk menangkap Willfinger marah karena dianggap sebagai bagian dari persekutukan. Lundayeh masyarakat pada saat itu mencoba untuk menyembunyikan John Willfinger di desa-desa sekitar Long berang, tapi John tidak ingin orang Willfinger dayak Lundayeh terlibat dan menjadi target Jepang.
Pada tahun 1942 John Willfinger Jepang tawanan dan dibawa ke Tarakan. Tepat pada hari Natal, tanggal 25 Desember 1942 di mana Kristen seluruh dunia untuk hari kelahiran Yesus Kristus, seorang hamba Allah yang bekerja dalam misi menyelamatkan manusia dari dosa, yaitu Willfinger John ditembak mati sebagai martir oleh tentara Jepang di Tarakan.
Setelah Perang Dunia II dan setelah Indonesia menjadi negara yang mandiri, pada tahun 1946 Wahyu EW Preswood kembali ke Long kemarahan dari Amerika Serikat dengan baik isteri Ny. Rut Presswood untuk melanjutkan misi agama Kristian.
Theologi Kristen diajar oleh EW Presswood adalah apa yang akan tumbuh menjadi cikal-ajaran agama Kristian masyarakat di daerah cepat dayak Lundayeh, sebagai Mentarang, Krayan dan Malinau.
Sumber (lisan):
1. Dr Matias Abay, M. Div
2. Wahyu. Buing Udan
C. Sejarah melawan Jepang
Pada bulan Maret 1945 terdapat beberapa pesawat tempur dari skuadron ally australia bahwa dasar-dasar Jepang di kota Merudi Malaysia. Satu fighter persekutukan gambar sayap kiri meriam anti-pesawat terbang Jepang. Dengan sayap kiri dibakar pilot pesawat dari peperangan dan ke wilayah timur. Pesawat tidak bisa kembali ke pangkalannya jadi darurat arahan di desa Long Kesurun.
Awak pesawat tempur skuadron saham sebesar 4 (empat) dan satu yang mati di pesawat mekanik dibakar, sementara tinggal di pendaratan darurat adalah:
a. Philip Kearing (komandan Pilot)
b. Daniel (Co Pilot)
c. John Terry (Juru tembak).
Asisten Wedana di Mentarang berbasis di Long marah pada saat itu adalah Makahanap meminta kepada Kepala Adat Mentarang Prince perbatasan untuk mobilisasi masyarakat untuk membantu mengamankan soldier's ally.
Pada saat itu Jepang masih di Asia, salah satu angkatan bersenjata dasar di Tarakan. Mengetahui ada sekutu prajurit bersembunyi di Mentarang, dengan komandan tentara Jepang bernama mudik Taico dari Malinau Long berang mitra untuk menangkap tentara. Pada saat tentara Jepang di Mentarang, yang ketiga adalah mitra tentara dijamin oleh masyarakat adat di dayak Lundayeh Long Metuil.
Adat dayak Lundayeh tidak senang datang ke wilayah Jepang, jadi ada beberapa babak peperangan yang dahsyat dan menyebabkan puluhan pahlawan Jepang dibunuh. Karena daerah yang sulit untuk bertempur di tengah-hutan belantara dan sungai-sungai yang jeram, dan teknik perang gerilya suku dayak Lundayeh dengan senjata sumpit merugikan banyak Jepang, awal tahun 1946 Jepang memutuskan untuk mundur dan menarik pasukannya dari wilayah untuk kembali ke Mentarang Tarakan.
Sumber : Henky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar