Oleh : John Kenedy Bucek [BHT'02]
Kesenian Dundam atau dalam kata kerjanya Badundam, diyakini merupakan turunan dari kesenian Lamut. Dundam sudah ada sejak ± 1500 M dalam bentuk sastra lisan, setelah Islam masuk di Kalimantan Selatan, kesenian ini diiringi dengan alat musik tarbang .
Dundam diperkirakan berasal dari kata “Memundang” atau “Mengundang” (tokoh-tokoh alam gaib). (Ian Emti, Dundam Sastra Lisan Kalimantan Selatan. 1991) Diperkirakan perkembangan kesenian ini berada pada daerah pedesaan di sepanjang sungai. Satu-satunya tempat yang masih ada kesenian ini adalah di Desa Lok Baintan (Kecamatan Sungai Tabuk) dan Pundun Daun (Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar) Tata cara penyajian diperkirakan sebagai berikut:
1. Pendundam duduk dengan perapian kemenyan yang harus tetap membara dan berasap.
2. Sebelum cerita dimulai pendundam mengundan tokoh-tokoh alam gaib dengan disertai suguhan 40 macam kue khas Banjar.
3. Semua proses dilakukan dalam keremangan gelap malam (tanpa penerangan lampu) Setelah penyajian awal selesai maka mulailah pendundam mengumandangkan dundam.
Cerita yang didundamkan biasa merupakan cerita kerajaan antah berantah dengan berbagai macam tokoh fiksinya. Cerita tidak pernah dirancang terlebih dahulu tapi mengalir sesuai inspirasi yang datang saat mendundam. Perbedaan antara Lamut dengan Dundam adalah pada Lamut, Palamutan menceritakan tentang Paman Lamut (tokoh utama cerita) sedangkan pada Dundam, Pendundam sendiri yang berfungsi sebagai tokoh utama cerita (first point of view). Waktu penyajian Dundam biasanya dimulai pukul 20.00 atau 21.00 dan berakhir saat menjelang subuh. Dialog yang disampaikan dalam bahasa Banjar diselingi bahasa Indonesia atau Jawa kuno seperti dalam wayang..(Dikutip Dari Sejarah Sastra Banjar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar