Selamat datang di Web ini,

Cerita Rakyat ini dipersembahkan agar kita mengetahui adat-istiadat. banyak kelemahan dan kekurangan. Web ini sub Domain Dari LangsaT Borneo.
Pencerahan dan saran pendapat silahkan kirim email ke whyank@gmail.com

Kamis, 07 Juli 2011

Sekilas Tentang Asal Usul Orang Ulu Mahakam

"Sekilas Tentang Asal Usul Orang Ulu Mahakam"
Disalin Oleh : John Kenedy Bucek [BHT'02]


"Dayak" merupakan eksonim yang diberikan kepada lebih dari 200 subsuku yang tinggal di pedalaman Kalimantan berdasarkan karakteristik bahasa dan kebudayaan mereka. Ratusan subsuku ini kemudian digolongkan ke dalam beberapa kelompok utama. Salah satu dari kelompok utama ini adalah kelompok Kayan-Kenyah.

Sejumlah literatur mengatakan bahwa orang Dayak telah mendiami pulau Kalimantan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tetapi Kayan dan Kenyah sendiri diperkirakan baru pindah dari daratan Asia Timur (China Selatan) kurang dari 900 tahun lalu. Menurut penuturan orang Kenyah Lepo Taw, raja Akalura* dari Tiongkok mengirim dua kapal ke Kalimantan. Satu kapal, milik nenek moyang orang Kayan, mendarat di Brunei. Kapal yang satunya lagi, milik nenek moyang orang Kenyah, membawa mereka ke sungai Baram (Sarawak) lalu menetap di sana. Itulah sebabnya orang Kayan dan orang Kenyah memiliki banyak sekali kemiripan dalam bahasa dan kebudayaan. Sebelum abad ke-15, orang Kayan yang telah menetap di Brunei bermigrasi ke wilayah pedalaman Kalimantan. Ada yang menetap di Apo Duat (sekitar gunung Murut dan sungai Baram), ada juga yang ke wilayah Usun Apau (sekitar sungai Tinjar dan Baluy). Gelombang migrasi selanjutnya terjadi dari abad 16-18, di mana orang Kayan memasuki lalu mendiami Apau Kayan, sungai Kayan dan sungai Bahau. Gelombang migrasi terakhir terjadi selama abad ke-18 hingga abad ke-20, di mana mereka menganeksasi wilayah-wilayah baru spt sungai Malinau, sungai Sesayap, sungai Segah, sungai Kelinjau, sungai Telen dan Wehea, sungai Belayan, sungai Mahakam, dan sungai Medalam. Tetapi ada juga orang Kayan yang berbalik arah ke Sarawak lalu menetap di sekitar sungai Baleh, sungai Baluy, sungai Tinjar dan sungai Baram. SUPREMASI ORANG KAYA:N DI MASA LALU Dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, orang Kayan atau Kaya:n (dlm dialek asli) memiliki pengaruh yang luar biasa di Sarawak dan Kalimantan Timur. Mereka dikenal sebagai pemburu kepala manusia (headhunters = ayau kung) yang sangat agresif. Hal ini menyebabkan kawasan yang berada dalam kendali mereka, mulai dari wilayah pantai barat laut (Sarawak) sampai ke pantai timur laut (Berau dan Bulungan) Pulau Kalimantan, berada dalam keadaan teror. Mereka menduduki berbagai wilayah baru, mengganti nama tempat dan sungai, serta menyebabkan berbagai suku2 yang bermukim lebih dulu melarikan diri. Di wilayah ulu sungai Mahakam, orang Kaya:n membuat orang2 Ot Danum, Bukat, Penihing, Punan, Murut dan Maloh terpaksa menyingkir ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah atau memilih tunduk menjadi pengikut orang Kaya:n. Sedangkan Mahakam bagian tengah telah lebih dulu dianeksasi oleh orang Kaya:n yang datang dari sungai Belayan. Hal ini memicu orang2 Tunjung dan Benuaq, yang merupakan penduduk lokal wilayah tersebut, lari ke dataran tinggi dan ke Kalimantan Tengah. Di bagian utara Kalimantan Timur, orang2 Burusu dan Tenggalan yang menetap di sungai Kayan dan Sesayap, terpaksa menyingkir ke kawasan pantai timur Kalimantan karena mendapat serangan dari orang Kaya:n. Sementara di wilayah Sabah, dimana orang2 Kaya:n sendiri tidak pernah menetap, mereka juga melakukan serangan sengit terhadap orang2 Tidung, Sulu dan Bajau. Keahlian dan pengalaman berperang, mobilitas yang tinggi, ditambah kemampuan mengumpulkan hasil2 hutan, membuat orang Kaya:n menjadi penguasa sesungguhnya di pedalaman Kalimantan Timur selama hampir 300 tahun. Tetapi para pemerintah kolonial Spanyol, Inggris dan Belanda hanya bersedia mengakui kekuasaan yang dipegang oleh orang yang bergelar sultan, bukan kekuasaan yang dipegang oleh para kepala suku Kaya:n. Kontrak dagang para kolonial pun hanya dilakukan dengan pihak2 yang diakui kekuasaannya tadi. Karena itulah dalam buku2 sejarah Kalimantan, orang Kaya:n tidak pernah disebut sebagai penguasa di wilayah ini seperti halnya suku Melayu (Brunei, Kutai, Bulungan, Berau) dan Tidung. SIAPA SEBENARNYA ORANG KAYA:N INI? Berdasarkan karakteristik bahasa, kultur dan latar belakang sejarahnya, orang Kaya:n terbagi atas tiga kelompok (subgroups): 1). Kelompok Berbahasa Ga'ay/Mengga'ay Di wilayah sungai Mahakam, yang masuk kelompok ini adalah: Long Glat, Long Huvung Lama dan Keliway. Di wilayah sungai Kayan, ada Seloy/Gong Kiya:n dan Long Ba'un. Di Muara Ancalong ada orang Long Way spt: Long Nah, Melean, dan Long Bentuk. Di sungai Segah ada Long La'ay dan Long Ayan. Saat ini, dialek asli Long Huvung Lama, Keliway, Melean dan Seloy nyaris hilang karena adanya asimilasi yang panjang dengan berbagi kelompok, spt Bahau, Busa:ng, dll. Menurut riwayat, ada dua versi yang menjelaskan asal-usul etnonim Ga'ay. Versi pertama, orang Ga'ay sendiri mengatakan bahwa Ga'ay diambil dari "gay" (mandau) karena mereka sering menggunakan mandau ini untuk meng-ayau. Versi kedua menurut orang Kenyah Lepo Taw menyebutkan bahwa Ga'ay berasal dari kata "ba'ay" yang artinya "orang ilir". Karena ketika sama2 tinggal di sungai Baram, orang Lepo Taw menempati wilayah ulu dan orang Ga'ay yang datang kemudian mendiami wilayah ilir atau muara sungai. Bila melihat karekteristik orang Ga'ay yang sangat mahir dalam membuat mandau, suka meng-ayau dan sering menetap di bagian hilir sungai, kedua etimologi di atas dapat diterima. 2). Kelompok Berbahasa Kaya:n Mereka ini sebagian besar berasal dari sungai Baram bagian selatan dan telah menggunakan endonim "Kaya:n" di sana. Dalam bahasa mereka, "Kaya:n" berarti "tempat kami" atau "wilayah kami". Saat ini, kelompok berbahasa Kaya:n telah menjadi kelompok yang tersebar luas di Kalimantan. Tengok di Kalimantan Timur, ada Uma:' Suling, Uma:' Lekwe, Uma:' Tua:n, Uma:' Wak, Uma:' Laran, U. Lekan (termasuk U. Lasa:n, U.Teliva', Miau Baru), dll. Sementara di Kalimantan Barat ada Uma:' Aging, Uma:' Pagung, dll. Kelompok Kaya:n ini juga tersebar di berbagai tempat di Sarawak, spt di Sungai Balui, Sungai Baram, Sungai Tinjar, dll. Dalam kelompok orang2 yang berbahasa Kaya:n ini ada kelompok lain yang menggunakan etnonim berbeda. Mereka menyebut dirinya dengan endonim "Busa:ng", diambil dari tempat tinggal mereka sebelum migrasi ke Apau/Apo Kaya:n, yaitu sungai Busa:ng di kawasan ulu sungai Baram. Okushima menyebut mereka dengan eksonim Kaya:n-Busa:ng. 3). Kelompok Berbahasa Bahau Kelompok ini yang paling banyak memiliki dialek karena ukuran kampungnya yang kecil-kecil, dan setiap kampung punya dialek sendiri. Yang termasuk kelompok Bahau adalah Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dan Hwang Boh di Mahakam. Sedangkan orang Ngorek, lalu Pua' yang mendiami bagian hilir dan tengah sungai Kayan, serta Merap di Malinau, juga termasuk kelompok Bahau. Pada umumnya orang Bahau menggunakan endonim Baw (atau Bao:, Bao, Wehea) ditambah kata "Hwang" (orang) di depannya, mis: Hwang Baw. Belum jelas benar sejak kapan pertama kali endonim Bahau digunakan. Apakah setelah mereka bermigrasi ke sungai Bahau yang terletak di kawasan utara sungai Kayan atau dibawa sejak dari sungai Baram. Tetapi menurut orang Kenyah, nama asal Bahau adalah "Baw" karena mereka tinggal di dataran tinggi (baw, bao:, bo:, yg artinya "tingi") kawasan Baram. SATU KELOMPOK BANYAK NAMA

Dalam sejarah orang Kaya:n, sering terjadi kebingungan karena perubahan etnonim, nama tempat dan nama sungai. Hal ini terjadi karena dua sebab:

1). Karena masa yang panjang (berabad-abad) dan pengaruh dialek lokal.
2). Sengaja diubah, misalnya untuk membedakan satu kelompok dari kelompok lainnya atau karena alasan lain. Etnonim Kaya:n misalnya, dalam berbagai dialek diucap secara berbeda. Orang Melayu menyebutnya Kayan. Sedangkan dalam bahasa Ga'ay, disebut Keji:n (Long Way), Kiya:n (Long La'ay), dan Kejuyn (Long Glat). Kelompok berbahasa Ga'ay sendiri mendapat berbagai eksonim. Para sultan Bulungan dan Berau memberi mereka eksonim Segai/Segei/Segai-i karena berasal dari sungai Segah. Sedangkan oleh para sultan Kutai, karena sulit melafal Medaeng (Long Way), lalu memberi eksonim Modang. Sementara orang Wehea yang merupakan kelompok Ga'ay-ized Bahau, oleh orang Melayu diberi eksonim Wahau. Orang Tering yang termasuk dalam kelompok Bahau memakai endonim Hwang Tri:ng. Sementara itu, ada sub kelompok dalam Hwang Tri:ng memakai endonim Tembaw (ita:m baw = kita orang Bahau). Di wilayah Bulungan, orang Bahau memperoleh eksonim Ngorek atau Murik dari orang Kenyah. Contoh lain lagi adalah orang Kaya:n-Busa:ng yang turun dari Apau Kaya:n ke sungai Mahakam, lalu menetap di kawasan hulu dan tengah. Mereka memakai endonim Bahau Busa:ng untuk membedakan kelompok mereka dari kelompok Bahau yang mendiami Mahakam bagian tengah, spt Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dll. Lalu orang Bahau sendiri menyebut kelompok mereka dengan endonim Bahau Sa' (sa'= asli). Perubahan etnonim terjadi pula pada kelompok Murut (berasal dr Sarawak) yang lebih dulu bermigrasi dan mendiami kawasan ulu sungai Mahakam, tetapi dengan alasan berbeda. Mereka berasimilasi dengan orang Kaya:n yang datang kemudian sehingga menjadi Kayan-ized Murut dan memakai etnonim Kayan. Oleh Okushima, mereka ini disebut Kayan Meka:m. Kampung Long Melaham, Uma:' Urut dan Bang Kelaw termasuk dalam kelompok Kayan Meka:m. Barangkali alasan dibalik perubahan etnonim ini adalah agar mudah beraliansi dan memperoleh proteksi dari orang Kaya:n yang telah mendominasi wilayah tersebut. Nampaknya, perubahan etnonim orang Murut menjadi Kayan ini pula yang menjadi alasan lain bagi orang Kaya:n-Busa:ng memakai endonim Bahau Busa:ng. DEMOGRAFI SECARA UMUM Pada umumnya orang Kaya:n mendiami kawasan di sepanjang pinggiran aliran sunggai. Di Kalimantan Timur misalnya, kampung2 orang Kaya:n ada di bagian ulu dan tengah sungai Mahakam, di bagian ilir sungai Kayan dan sungai Belayan, sungai Kelinjau, di ilir sungai Wehea (Wahau) dan sungai Telen, sungai Kelai ilir, sungai Segah, sungai Bahau bagian ulu dan tengah, sungai Malinau, dan sungai Sesayap. Di Kalimantan Barat, mereka menetap di sepanjang sungai Medalam. Sedangkan di Sarawak, kampung2 orang Kaya:n ada di sungai Baram, sungai Baluy, sungai Tinjar, dll. Total populasi orang Kaya:n saat ini di Kalimantan Timur diperkirakan sekitar 40-50 ribu jiwa. Mereka tersebar di lebih dari 70 desa yg ada di 20 kecamatan dalam 5 kabupaten. Dari sumber2 tidak resmi, di Kalimantan Barat jumlah orang Kaya:n sekitar 2000 jiwa, sementara di Sarawak sekitar 40 ribu jiwa. Bila orang Kaya:n yang ada di luar Kalimantan dimasukkan juga, secara kasar jumlah orang Kaya:n saat ini ada sekitar 100 ribu jiwa atau kurang dari 1% dari total populasi Pulau Kalimantan yang berjumlah sekitar 17 juta (Indonesia dan Malaysia). PENUTUP Kaya:n dan Kenyah ibarat dua saudara kandung yang berbeda karakternya. Keluarga Kaya:n yang memiliki tiga anak bernama Ga'ay, Kaya:n dan Bahau, nampaknya cenderung lebih kasar dan agresif dibandingkan saudaranya, Kenyah. Karena itulah dalam sejarahnya, orang Kaya:n sangat suka berperang (meng-ayau) dan menaklukkan berbagai wilayah baru di pedalaman Kalimantan Timur yang didiami berbagai suku, spt Ot Danum, Punan, Bukat, Panihing, Murut, Maloh, Burusu, Tenggalan, Tidung, Tunjung, Benuaq, dan Melayu (Kutai, Berau, Bulungan). Melihat total populasi orang Kaya:n saat ini yang hanya 100 ribu jiwa, maka 100-400 tahun lalu jumlah mereka dipastikan jauh lebih sedikit lagi, mungkin di bawah 10 ribu jiwa. Meskipun dengan jumlah demikian, orang Kaya:n mampu menguasai kawasan yang luas di Kalimantan Timur dan Sarawak selama ratusan tahun. Sementara total populasi penduduk dalam wilayah taklukan bisa jauh melebihi populasi orang Kaya:n sendiri. Lalu di mana letak kekuatan mereka? Kita akan coba telaah dalam tulisan mendatang. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Ibu Mika Okushima, Ph.D. dari Tokyo, Japan, yang telah berbaik hati mengirim referensi tentang sejarah etnik Kaya:n dan Tidung kepada saya. Catatan kaki: Baik orang Kenyah Lepo Taw maupun orang Ga'ay Long Way, sama2 menekankan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tiongkok. Saat terjadi migrasi ke Pulau Kalimantan, Tiongkok diperintah oleh raja Akalura. Tetapi siapa raja ini? Belum diketahui dengan jelas.

DAYAK MAANYAN

ASAL USUL SUKU DAYAK MA’ANYAN

Sorosilah ini berbahasa asli Dayak Ma’anyan ” Janyawai “

Bukan bahasa yang dipakai sehari – hari.

A. RIWAYAT ASAL USULNYA.

Allah mula Allah, Allah mudi jari Allah. Allah mula Allah, Allah munta murunsia, munta datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka’ani dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Muneng tane tipak sulu, ngumung langit rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu’ut ranu petak watu, ranu gunung madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu purun panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu rahu, lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, metak lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling wulian, janang riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu.

Tumpuk munta mudi matei, marunsia mantuk lumun, luwan patei datu mula munta, lumun maharaja mula ulun, jari datu tunyungpanu, maharaja dandruhulu. Heput kulu mudi hiang, surut sasar Janyawai, mulek datu mula munta, maharaja mula ulun, hawi talak batung nyi’ai, jaku intai telang suluh. Batung nyi’ai hawi teka rayu, telang suluh jaku talinguan. Ma’umele hi datu mula munta, ma’umelan maharaja mula ulun, daya sumaden talak batung nyi’ai, sumadi intai telang suluh, sumaden ma anak matu, sumadi bunsu pasunringan. Palus gagiris ngini ma dara mula lapeh, igaginak nginte suaraibuhengkang ulun, palus ipa’muma ume anri dara mula lapeh, ipa turut junjung ma suraibu hengkangulun. Luwan hampe metak ranu puka tamu, ruruh rimis luyu uwut jujuli, luwan metak ma tane pirarahan, ruruh rimis ma gumi tampajakan, jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu, jari wurung sa ngawuwean wurung, janag eha ngawuean eha.

Luwan sipumpun here kala adu nyawung, isansayuh alang nansaramai, gimutuk here kala haruangan banung, gamudrah here munan gumi rarak ransai, sipumpun munta anri wurung eha, isansayuh ulun ma waraga satua. Daya huan uwung uweng kawan mantir ngurai hokum, ngahu anuh na’an maharaja merang hadat. Daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari.

B. PERJEMAHAN BAHASA JANYAWAI BAHASA ASLI DAYAK MA’ANYAN KE BAHASA INDONESIA.

Adapun terjemahan bahasa asli Suku Dayak Ma’anyan diatas ke bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

” Allah mula Allah itu adalah yang Maha Kuasa, Maha bisa, Maha tahu, Maha sakti, Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Boleh jadi disamakan dengan Allah Maha Esa, Allah Munta Murunsia adalah dia mencipta manusia yang mana manusia pertama menurut ceritera budaya Dayak Ma’anyan ialah Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, lalu manusia yang kedua kisah ini, dibikin dari tulang rusuk manusia pertama tadi ( Datu Mula Munta ), maka diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Cuma menurut kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua buah gunung kecil di dadanya yang disebut dalam bahasa Janyawai yaitu Gunung Madu Rahu Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari puncaknya. Dari dua buah puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes air ke bumi tempat manusia berdua ini berada. Bumi disebut disini waktu itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua ini berada , yakni Tane Tipak Sulau. Dan waktu itu dalam kisah Janyawai ini kabut / gelap gulita dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur dua buah gunung kecil tadi, menimpun dari mata air dipuncak kedua gunung itu. Adapun tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai ini, tetesan pertama tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunya biasa dipergunakan untuk membangun ( menghidupkan orang yang mati ) disebut kayu saramelum.

Tetesan yang kedua tumbuh jadi padi, jadi rupanya padi yang ada sekarang berasal dari tetesan kedua dari tetesan air dari puncak gunung tadi. Tetesan ketiga menjadi minyak dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit. Tetesan yang ke empat hidup jadi Roh mereka berdua. Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan penyakit apa pun. Tetesan yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Dukun – Dukun jika diperlukan. Tetesan yang ketujuh menjadi Kota ( Desa ) tempat Roh orang yang sudah mati, Tetesan ini disebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Jadi setelah manusia pertama ini mati, dialah yang pertama menempati Kota ( Desa ) tersebut. Diatas dia bernama Datu Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat kejadian tetesan air dari puncak gunung kecil tadi.

Adapun riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi seolah – olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa – apa, namun tiba – tiba datang cahaya matahari membelah kegelapan dan kekabutan tersebut yang disebut bahasa Janyawai Batung Nyi’ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh Jaku Talinguan. Maka terbangunlah manusia tadi dan saling berpandangan satu sama lain, maka timbul birahi saling mencintai, maka berpelukanlah mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka berdua tadi menetes air kemaluan manusia pertama tadi kebumi dan tumbuh jadi kayu – kayuan, rumput – rumputan, menetes lagi keduakalinya air kemaluanya ke bumi, hidup jadi berbagai marga satwa memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis burung di udara, maka berkumpulah mereka bersama dialam purba itu satu bumi, satu alam, satu bangsa (satu mahluk), satu bahasa yaitu bahasa purba ( Bahasa Nahu ) yang artinya saling mengerti, namum belum menpunyai adat istiadat. Kerena belum ada pengaturan dari Allah mula Allah ( yang mencipta tadi ). Maka alam purba tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku Dayak Ma’anyan disebut ‘” Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai “.

Demikian sekilas ceritera asal usul adanya manusia Suku Dayak Ma’anyan didapat dari saudara RADEN KUTAR SUTA UNO ( Cicit dari RONGGO SUTA UNO ). Namun tempat alam purba itu tidak dapat beliau beri petunjuk, karena diperkirakan terjadinya sebelum abat masehi. Adapun perkembangan selanjutnya akan diutarakan seterusnya hingga masa sekarang.

C. PERKEMBANGAN DUNIA PURBA MENURUT KETERANGAN ( RADEN KUTAR SUTA UNO ) INI YANG DIA PEROLEH DARI NENEK, KAKEK YANG MENITIS PADA DIRI PRIBADINYA.

Riwayat perkembangannya adalah sebagai berikut :

Pada masa itu perkiraan masih dalam jaman pra sejarah karena tidak diketahui lokasi tempat kejadian dan tidak diketahui tempat waktu kejadian, jadi mungkin karena ceriteranya mereka belum mempunyai hukum dan Adat Istiadat, apalagi dunia pendidikan yang biasa memberitakan secara sensitive, hanya sistematik sambung – menyambung dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut, maka terjadilah kelanjutan ceriteranya ialah sebagai berikut : Dalam Tumpuk Lalung Kawung, Gumi Rarak Ransai, mereka berkecamuk mengadakan hubungan seks dan bunuh membunuh, terkam menerkam, maklum antara manusia dan binatang marga satwa masih menyatu dalam satu kampung, satu wilayah, satu tanah air, satu bahasa, satu alam yakni alam purba, tanpa ada aturan dan pengaturan baik secara hukum maupun secara adat dari Sang Pencipta.

Menurut kisah ini karena berkecamuknya mereka pada masa itu saling kejar mengejar, maka meluaslah bumi ( Tane Tipak Sulau ) tadi yang ditempati Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai, sehingga mereka dapat berpindah – pindah tempat / pemukiman. Adapun lokasi perkembangan menurut ceriteranya terjadi menjadi 4 (empat) lokasi perpindahan dalam dunia purba itu antara lain sebagai berikut (dalam bahasa Janyawai) ini : 1. Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai

2. Perpindahan kedua yaitu, Tumpuk Pupur Matung

3. Perpindahan ketiga yaitu, Tumpuk Sida matung

4. Perpindahan ke empat yaitu, Tumpuk laliku Maeh

Empat lokasi purba ini tidak diketahui tempatnya di bumi sehingga tidak dapat ditelusuri untuk bahan penelitian. Pada lokasi terakhir dunia purba ini, yaitu: Tumpuk Laliku Maeh ini mempunyai hikayat (ceritera) tersendiri. Ceritera tersebut adalah sebagai berikut : Pada Tumpuk Laliku Maeh mereka mengangkat (menubat) dalam bahasa Janyawai yaitu Nudus salah satu dari mereka pimpinan atau mengepalai mereka yang nama dan pangkat jabatan dalam bahasa janyawai ada tiga yaitu :

1. Raksapateh

2. Singa Galanteh

3. Using Dukut Nungu Dapur

Tapi menurut ceriteranya meskipun sudah dilantik (didudus) tiga pengurus tadi namun keadaan dan ketentraman di Tumpuk Laliku Maeh ini tidak terkendali, malah pengankatan tiga pengurus itu memicu kepada kekacuan semakin bertambah akibat iri mengiri, dengki mendengki, hanya terbukti dari ajaran ketiga pemimpin mereka ini yaitu berhitung dengan bahasa waktu itu dari satu sampai duabelas, yang hitungannya sebagai berikut :

1. Satu : Sau

2. Dua : Karuaw

3. Tiga : Katalu

4. Empat : Manapitaw

5. Lima : Kaebak

6. Enam : Kapapak

7. Tujuh : kalempat

8. Delapan : Karewaw

9. Sembilan : Katumang

10. Sepuluh : Pahapaw

11. Sebelas : kaminting

12. Duabelas : Buk Ok

Itulah perhitungan di Tumpuk laliku Maeh masa pimpinan Raksa Pateh, Singa Gantaleh, Using Dukut Nungu Dapur. Jadi perhitungan kelompok 12 ini sampai sekarang diwarisi oleh Suku Dayak Ma’anyan disebut selusen (satu lusin).

Selanjutnya di Tumpuk laliku Maeh ini makin hari makin kacau diman – mana hububungan seks antara manusia dengan berbagai marga satwa, antara ibu dengan anak, antara anak dengan bapak antara anak dengan cucu, antara cucu dengan nenek pendeknya berkecamuklah dosa. Begitu perkelahian berkecamuk antara manusia sama manusia, antara manusia dengan berbagai binatang dan antara binatang sesama binatang, sehingga tidak terkendali lagi. Maka prihatinlah rupanya Allah mula Allah (Sang Pencipta) karena melihat kehancuran Tumpuk Laliku Maeh oleh karena belum ada hukum adat untuk mengatur tata tertib dan keamanan mereka.

Maka ditengah – tengah kekacauan tersebut, jatuhlah segumpalan benang kusut sebesar buah kelapa disebut Tundun Taking atau dalam bahasa janyawai Amas Tukal Banang Juwet, Mirah Rawai Wali Halun, dengan disertai pesan dari Allah mula Allah, siapa diantara mereka bisa membuka benang kusut tersebut dengan tidak diputus – putus dan disambung – sambung, sehingga terbuka dalam keadaan utuh dan baik maka dialah yang menjadi pemimpin pemutus hukum adat guna menindak yang salah dan memberi kesaksian bagi yang benar.

Maka berebutanlah mereka membuka gumpalan benang kusut itu dengan maksud ingin menjadi pemimpin mereka, setelah silih berganti mereka jangankan bisa terbuka malah makin kusut. Lalu datanglah 12 anak muda yang kelihatan cakap dan cerdas langsung silih berganti membuka gumpalan benang kusut tersebut, jangankan terbuka malah semakin kusut lagi dan semakin bertambah.

Hanya tinggal sorang perempuan tua lanjut usia yang tinggal dibalik dinding luar tidak diperkenankan masuk, karena kejijikan mereka padanya, dengan tidak disangka – sangka datanglah Roh Dawa Dewi yang berasal dari tetesan tetesan air Puncak Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura di tane Tipak Sulau dulu. Lalu Roh dewa Dewi tersebut menyerupai seekor kucing, setelah seekor kucing ini kesurupan , lalu berkata panggilah orang tua dari luar dinding itu untuk membuka benang kusut ini. Nama orang tua itu adalah Etuh yang dipanggil Nini Punyut, setelah dipanggil masuklah orang tua itu dan mulailah orang tua itu membuka perlahan – lahan gumpalan benang kusut tadi dengan kesabaran dan ketabahan hati, kepercayaan iman dan kerja, maka terbukalah (terurailah) benang kusut tadi tanpa ada cacat cela tepat sebagaimana dipesan Allah mula Allah tadi.

Maka tiada dapat dipungkiri lagi bahwa sesuai janji Allah mula Allah tadi, mau tidak mau orang tua ( Etuh ) atau Nini Punyut inilah menjadi pemimpin pengatur hukum adat mereka di Tumpuk Laliku Maeh itu. Maka dari peristiwa kejadian ini Suku Dayak Ma’anyan mengkaji dan membudayakan terus menerus cara penghormatan dan penghargaan sebaik – bainya terhadap orang tua, tidak boleh diremehkan dalam keyakinan orang Dayak Ma’anyan, bahwa orang yang sudah lanjut usia dianggap sebagai ajimat yang bisa memberi petuah bagi kehidupan anak muda.

Pada pembukaan lembaran ini terlebih dahulu perlu saya terang ulang bahwa dari permulaan kisah kejadian tadi sampai berakhir di Tumpuk Laliku Maeh belum ada pembagaian suku, puak dan ras, masih menyatu Janyawai kisah munta murunsia jadi simak oleh pembaca belum ada kata Suku Dayak Ma’anyan itu.

Demikianlah agar diketahui oleh pembaca. Ceritera selanjutnya dalam kejadian ini, orang tua Etuh (Nini Punyut) tadi diperintah oleh Allah mula Allah untuk membuat peraturan tata tertib, adapt istiadat, guna mengatur tata kehidupan di Tumpuk Laliku Maeh. Terlebih dahulu Etuh mengatur hukum adat, namun hanya umat Munta Murunsia yang tunduk dan menerima. Tapi seluruh mahluk marga satwa menolak dan menentang, maka terjadilah dua perbedaan umat Munta Marunsia menganut adat istiadat, sedangkan mahluk marga satwa tetap menganut tradisi lama, maka selalu saling terjadi pertengkaran dan tidak jarang selalu membawa kepada perkelahian.

Sesudah itu Etuh mengurai peraturan, semua manusia tunduk, marga satwa separuh yang tunduk, separuh yang tetap tidak tunduk peraturan Etuh itu. Jadi terbukti sampai sekarang marga satwa tidak tunduk adat, tapi separuh tunduk peraturan. Terbukti babi hutan dan babi peliharaan, Babi hutan tidak tunduk adat dan peraturan, tetap lari kehutan. Babi peliharaan tidak tunduk adat, tapi tunduk peraturan, maka babi peliharaan bisa kita kurung dan dipelihara. Babi hutan biar kita pelihara 100 tahun lamanya, bila kita lepas tetap liar lari kehutan. Demikian lain-lainya yang sama jenis dihutan dan yang kita pelihara.

Maka oleh karena jauh perbedaan tradisi lama dengan adat istiadat yang diatur oleh Nini Punyut ( Etuh ) tadi, maka Allah mula Allah datang memberi saran kepada Nini Punyut lebih baik mengalah atau pindah dari Tumpuk Laliku Maeh ke pemukiman baru yang ditunjuk oleh Allah mula Allah, yaitu Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam, Maka menurutlah Etuh petunjuk Allah mula Allah itu dan pindahlah Etuh (Nini Punyut) membawa umat munta murunsia ke tanah Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam yang baru ini. Dari kejadian inilah mulai berangsur – angsur hilangnya bahasa asal kejadian dunia, karena terpisah pergaulan umat munta murunsia dengan marga satwa dibatasi oleh hukum adat istiadat tadi. Lalu perkembangan selanjutnya umat munta murunsia hidup dipermukiman baru di Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam dibawah pimpinan Nini Punyut (Etuh) yang mengatur hukum adat istiadat dan membudayanya dengan alam sekitarnya. Sehingga hidup rukun damai berbaur dengan potensi alam yang ada disekitar mereka.

Dari permukiman Sani Sarunailah umat muna murunsia mulai masuk jaman sejarah, jaman yang mulai diatur dengan adapt istiadat dan menyatu keadaan bumi Sani Sarunai tempat mereka bermukim. Lalu di Sani Sarunai, Gumi Ngmang Talam inilah juga munta murunsia mengadakan organisasi sisial yang disebut dalam bahasa Janyawai ” Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “, karena perkembangan jiwa umat munta murunsia itu sudah beratus – ratus bahkan beribu – ribu jiwa banyaknya.

D. KEGIATAN UMAT MUNTA MURUNSIA DIBAWAH PIMPINAN NINI PUNYUT (ETUH) DITUMPUK SANI SARUNAI (TUMUK BARU).

Pada pemrmulaan ceritera baru ini, perlu saya ulangi kegiatan Nini Punyut semasa mereka masih di Tumpuk Laliku Maeh. Pada waktu Nini Punyut menerima perintah dari Allah mula Allah untuk membentuk hukum adat dan peraturan di Tumpuk Laliku Maeh, Nini punyut langsung menerapkan dan menyebar luas hukum adat dan peraturan kepada seluruh penghuni Tumpuk Laliku Maeh, namun sebagaimana yang diterangkan dalam kisah terdahulu tadi, semua mahluk marga satwa menolak hukum adat itu tetapi tentang peraturan yang diatur oleh Nini Punyut sebagian mahluk marga satwa menerima, oleh karena itu sebagian dari mahluk marga satwa yang tunduk pada peraturan Nini Punyut dapat dipelihara oleh Munta Murunsia. Oleh karena itulah sampai sekarang dari seluruh umat mahluk marga satwa ada komponen yang biasa dipelihara manusia, tetapi ada komponen yang tidak mau dipelihara oleh manusia tetap menolak hukum adat karena dari Tumpuk Laliku Maeh dulu kelompok marga satwa bersatu menolak hukum adat yang diterapkan oleh Nini Punyut. Demikianlah ceritera ulang kegiatan Nini Punyut di Tumpuk Laliku Maeh dulu.

Selanjutnya ceritera ini menceritakan kegiatan mereka di Tumpuk Sani Sarunai, di Tumpuk Sani Sarunai mereka dibawah pimpinan Nini Punyut mengadakan penelitian, percobaan, penyeringan potensi alam yang ada diwarisi dari masa kejadian di Tane Tipak Sulau dulu, yang mana potensi alam itu yang biasa menjamin daripada kelangsungan hidup umat Munta Murunsia untuk selama – lamanya setelah diuji dengan cara mereka pada masa itu, ternyata padilah yang dapat menjamin kelangsungan hidup umat Munta Murunsia sedangkan padi ini sangat kecil bijinya dari buah – buahan yang lain, maklumlah biji padi ini hanya berasal dari setetes air dari puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura yang tumbuh diatas dada Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun, waktu kejadian di tane Tipak Sulau dulu.

Begitu dibidang perlindungan umat Munta Murunsia diuji coba membikin suatu tempat mereka berteduh dari terik matahari dan kecurahan hujan, yang disebut dalam bahasa Janyawai ” Bali Karunrung Rahu, Sarungayan Payung Uran “. Ini berbentuk mirip gubuk, namun tidak ada dinding dan lantai. Dari uji coba ini, kayu – kayuanlah yang mampu memberi perlindungan untuk mereka. setelah itu Nini Punyut mengajak mereka menyebar luas bibit kayu – kayuan, rumput – rumputan guna keperluan mereka kemudian hari, ternyata marga satwalah yang mampu menyebar luaskannya dari cara memakan buah – buahan lalu berkeliaran dihutan lingkungan dan berak sembarangan, maka tumbuhlah biji buah – buahan , kayu – kayuan yang berasal dari satu tempat menyebar kelain tempat sehingga menjadi luaslah hutan wawasan lingkungan mereka.

Oleh karena itu menyatulah tata kehidupan umat Munta Murunsia dengan keadaan alam sekitar mereka dibawah kepemimpinan Nini Punyut (Etyh) ini. Di Tumpuk Sani sarunai . Nini Punyut mengatur adat suami isteri tidak boleh umat Munta Murunsia mengadakan hubungan seks laki – laki dengan perempuan kalau tidak melalui hukum adat perkawinan yang mana hukum adat perkawinan diwarisi dan membudaya di tanah Dayak Ma’anyan sampai sekarang.

Begitu juga tentang kematian juga diatur dengan hukum adat dibidang kematian, kerena sebagai penghargaan kepada umat Munta Murunsia semasa di dunia tunduk dengan pengaturan tata tertib adat istiadat yang ada, maka rohnya pun diatur dengan hukum adat kematian, pindah dari dunia ini ke kota ( desa ) Datu Tunyung Puno, Maharaja Guha Mari Dandrahulu, yang kota tersebut berasal dari tetesan yang ke tujuh, tetesan air dari puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura, yang teruarai ceriteranya pada masa kejadian Allah mula Allah. Hanya adat kematian ini ada tumpang tindih dengan adapt kematian agama Hindu semasa agama hindu memasuki wilayah Dayak Ma’anyan karena agama Hindu menganut hukum kasta lalu terkungkunglah adapt kematian di Dayak Ma’anyan dengan hukum kasta tadi.

Jadi sulit menggali perbedaan hukum adat yang diatur oleh Nini Punyut dengan hukun adat yang dibawa agama Hindu karena sudah berabad – abad berbaur. Adapun ceritera seterusnya tentang kehidupan umat Munta Murunsia dibawah hukum adat dan hukum aturan berjalan terus ditumpuk Sani Sarunai, mereka mengatur perladangan, perkebunan untuk melestarikan bibit padi – padian, buah – buahan yang berasal dari tanah kejadian sebagaiman yang telah diceritakan terdahulu dengan menelusuri adat, peraturan yang yang telah disebar luas oleh Nini Punyut (Etuh) setelah adat istiadat dan hukum dan peraturan itu sudah membudaya diseluruh lapisan kehidupan masyarakat Tumpuk Sani Sarunai, maka sampailah ajalnya Etuh ( Nini Punyut ), dengan meninggal hukum adat istiadat dan peraturan kepada seluruh umat Munta Murunsia di Tumpuk Sani sarunai dan meninggalkan seorang anak yakni ” AMAH JARANG ” yang dalam bahasa Janyawai ” Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei “, inilah penerus kepemimpinan adat istiadat seterusnya.

Lalu Nini Punyut ini diadakan upacara adat penguburan ( adat kematian ) serta menanam satu pohon sawang disebut Dayak Ma’anyan ” Rirung” sebagai tanda kuburan Etuh ( Nini Punyut ). Setelah meninggalnya Nini Punyut , berkesanlah dihati umat Munta Murunsia khususnya suku Dayak Ma’anyan yang mengetahui riwayat ( sejarah ) kepemimpinannya Cuma sayang tidak diketahui tepat waktu (tanggal dan bulan ) dia meninggal, karena pada waktu itu belum ada pendidikan tulis menulis karena Nini Punyut ( Etuh ) tidak ada mengajar hurup abjad dan angka – angka hanya sesuatu yang penting menjadi peringatan ditandai oleh tanda alam yaitu berupa batu diletakan atau kayu – kayuan ditanam.

Demikian halnya kuburan Nini Punyut sekarang ada buktinya dapat ditelusuri yakni di Tamak Sapala. Itu sebuah pulau kecil ditengan danau Kabupaten Barito Kuala ( Marabahan ) karena bekas Tumpuk Sani Sarunai dulu adalah Tamak Sapala di Danau Panggang Privinsi Kalimantan Selatan, karena Tamak dalam bahasa Janyawai Kuburan Sapala Kapala. Jadi Tamak Sapala berati kuburan Kepala ( Pemimpin ).

Kembali lagi kita menyimak ceritera selanjutnya mengenai kehidupan di Tumpuk Sani Sarunai. Dipimpin Amah Jarang ( Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ), pada waktu itu di Sani Sarunai bermunculan Datu – Datu antara lain yang saya ingat :

1. Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ( Amah jarang )

2. Datu Bias Layar Maharaja Tampi Pidagangan ( Amah Idung )

3. Datu Masuliaung Maharaja Amah Engkai ( Amah Engkai )

4. Datu Nuwung Sigai Maharaja Repan Uyur ( Amah Anggar )

Itulah yang saya ingat, banyak Datu lain lagi namun saya lupa, boleh ditelusuri dari orang Ma’anyan yang lain. Begitu juga Dara banyak sekali hanya yang saya ingat antara lain :

1. Dara Tamurak Sunsu ( Ibu jarang )

2. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Kapas ( Ibu Idung )

3. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Epai ( Ibu Tengkai )

4. Dara Tunrak Nyi’ai Gandring Layu ( Ibu Anggar )

Disamping itu banyak pemuda pemudi yang dalam organisasi social mereka disebut ” Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “,
antara lain yang saya ingat yang laki – lakinya sebagai berikut :

1. Idung

2. Jarang

3. Tengkai

4. Talengo

5. Iban

6. Bangkas

7. Patis

8. Anyawungan

9. Anggar

10. Paning

11. Nalau

12. Pasungan

Lalu yang perempuannya adalah :

1. Silu

2. Ave

3. Layu

4. Lelai

5. Pantiwuyuk

6. Awahat

Organisasi social pangunraun ini mengurus kegiatan ke bidang ekonomi yakni melestari ajaran almarhum Etuh untuk mengadakan perladangan, membudidaya bibit padi – padian dan buah – buahan begitu juga dibidang kesenian yang paling menonjol diantara pribadi mereka adalah Jarang , kerena ia selalu menjinjing gendang ( tabuh ) dan sambil bekerja sambil menabuh oleh kerena itu Jarang disebut Rapui Palu.

Pada suatu masa perladangan mereka mengadakan berkelompok dan diadakan pesta pengorbanan yaitu membunuh seekor binatang peliharaan mereka guna darahnya untuk mengelas tanah perladangan agar padi – padian, buah – buahan hidup dengan subur menurut adat yang diajar oleh almarhum pemimpin mereka yakni Nini Punyut. Setelah mereka membuat perladangan jarang yang paling kecil ladangnya hanya mengelilingi sebuah pohon yang disebut pohon Dalie karena dia kerja sambil menabuh gendang tadi, tangan kanan kerja, tangan kiri menabuh gendang. Setelah masa panen datang seorang perempuan tua mau ikut memotong padi membawa sebuah keranjang yang besar sekali, disebut waktu itu ” Bake Kariring Anrau, Tawang Iya Ta’u Nyarau ” yang artinya sesat anak umur 12 tahun ditengah keranjang itu oleh sebab itu semua pangunraun menolak orang tua itu tidak mampu mengisi padi kedalam keranjang besar itu, setelah orang tua itu sampai pada ladang jarang yang hanya mengelilingi sebuah pohon tadi maka diterima oleh Jarang lalu mulailah orang tua itu memotong padi.

Pokoknya berbulan – bulan orang tua itu memotong padi Jarang tidak bisa selesai dan berpuluh – puluh lumbung padi Jarang penuh belum juga bisa selesai, akhirnya bosan Jarang membuat lumbung maka mengusul Jarang pada orang tua itu agar menyelesai potongan padi itu, setelah menerima usulan itu segera orang tua itu menyelesai panen itu, maka pendapatan padi terbanyak kepunyaan Jarang daripada pendapatan kawan – kawannya yang besar ladangnya kerana orang tua itu mempunyai muzisat tersendiri.

Nama orang tua itu ” Itak Pumpun Wusi ” setelah Jarang menumpuk padi terakhir kedalam lumbung orang tua itu jatuh roboh jadi batu. Itulah asal batu ajimat padi yang banyak tersimpun oleh Suku Dayak Ma’anyan yang disebut oleh Dayak Ma’anyan ” Watu Panampareian ” yaitu berasal dari Itak Pumpun Wusi masa kemakmuran Sani Sarunai.

Ada satu lagi ceritera perladangan yang sangat berkesan yakni perladangan awahat dengan suaminya Nalau mereka berdua ini bekerja tani siang dan malam tidak perduli terik matahari ataupun kucuran hujan siang malam tidak mengenal lelah maka berlimpah ruahlah hasil panen mereka berdua namun pada suatu ketika perempuan Awahat bekerja pada malam hari terpotong tangannya sebelah kiri dari itu Awahat tidak dapat berkerja lagi lalu merenunglah ia atas nasibnya, tiba – tiba datang Roh Dewa Dewi yang berasal dari tetesan puncak gunung Madu Rahu kisah masa kejadian dulu. Roh Dewa Dewi itu menyerupai Awahat setelah dia kesurupan maka berkatalah ia,

Aku ini tidak guna tinggal di Sani Sarunai ini aku akan berangkat ikut Roh Dewa Dewi ke langit dan aku pesan pada kalian yang masih tinggal di bumi setiap tahun bintangku satu kali mengelilingi bumi lihat pada malam hari bila aku datang dari ufuk timur dan kalian sambut dengan telapak tangan dan biji padi ditelapak tangan, bila biji padi itu jatuh dari telapak tangan waktu kalian menyambut kedatangan ku pada sore hari itulah tandanya waktu menugal padi. Sesuadah ia berkata demikian terbanglah Awahat dan tinggal di langit menjadi bintang petunjuk suku Dayak Ma’anyan menanam padi. Nalau melihat isterinya terbang ke langit beringaslah suaminya Nalau dia bongkar ranjau babinya dari ladang lalu dilempar ke langit maka melekatlah ranjau itu menjadi bintang petunjuk dilangit yang disebut orang Jawa ” Lintang Luku ” bintang ranjau ini jadi petunjuk Suku Dayak Ma’anyan bila ia timbul dari ufuk timur tandanya menanam padi sudah lewat waktu.

E. KEMAKMURAN SARUNAI DAN PEPERANGAN

Bahasa Pangunraun Jatuh ( Janyawai ) ” Sipumpun Here Pangunraun Jatuh, Sansayuh Ngampet Malem Balah Riwau, Simpumpun Yeru Kala Adu Nyawung, Isansayuh Sa Alang Nansarunai, Gimutuh Kala Wani Pasi’au Ra’an, Gamuruh Alang Nuan Bakarabut Jangkeng, Gimutuh Hang Tane Nansarunai, Gamuruh Muneng Gumi Ngamang Talam Daya Sameh Ngumung Here Donayu, Pada Nanra Here Sanapahidun Tuhan.

Sameh Ngumung Here tatanggul agung pada nanra here puparau ganing , tatunggul agung teka Datu Nini Punyut Puparau ganing maharaja Etuh Mula. Nini punyut yeru Datu Ngurai hukum Etuh mula maharaja merang hadat luwan rami raya here tumpuk Nansarunai guruh ginak yeru Gumi Ngamang Talam luwan sarunai kala bangun tangui Ngamang Talam yena alang buka paying Sarunai ngamuan pantar ngamang talam magantangun tungkup Sarunai mangamuan sanggar ngamang Talam magantangun panti, Sarunai ngamuan balai ngamang talam magantangun jaru, mangamuan hanye balai pidudusan magantangun jaru tapung jangka. Pidudusan kawan mantir ngurai hukum, tapung jangka maharaja merang hadat. Sarunai mangamuan benteng, ngamang talam magantangun balat. Sarunai mangamuan parung, ngamang talam mangantangun malegai, parung layu hanye kala talak unru, malegain lelai alang intai wulan, layua ni jawan wawai, lelai tumpa huli dayang.

Manguntur Sarunai tawah wau, kudalangun ngamang talam sipat hanyar. Manguntur yena uneng adu nyawung, kudalngan yeru ina masang kamar. Panyawungan kawan anak Nanyu jatuh, pangamaran sukat bunsu lungai riwu. Nanyu jatuh sa minau adu nyawung, lungai riwu sa turun masang kamar. Nanyauo jatuh sa minau nyarang sepak, lungai riwu sa turun nyansang singki. Luwan sarunai hanye kala here jatuh, ngamang talam alang rakeh riwuo, luwan rami raya Tumpuk Tane Nansarunai, guruh ginak yeru gumi ngamang talam. Uei jaku tumpuk Nansarunai, kuai jaki gumi ngamang talam. Daya hawi umpui ngadunungan Rahu, jaku uyang ngapupasan bala. Mangamet nileng hapapuru ulu. tabunau nganya umun lalan sikan, munsit napi erang balai natat, kutuk marap jaruo talunya’an. Tau baker hante ngumungpapuru ulu, berang ranrung nutup lalan sikan, tau bakir hante lawu pamupale, berang ranrung gugur pamaluku.

Tapi engen tangkis baker lawu hasubarang, kilung berang gugur mampang ipai. Daya na’an tugas tumpuk hanye nganrei simpang lalan, raring bala nunup minsang ennui. Tuga tumpuk ulun mangalima, panungkulan manguratas runsa. Engen samuliah baker teka pamupale, samulikir berang hingka pamaluku. Tapi puang iyuh heput umpui putut sangar, ngahu dapat sasar uyang ngumung pati. Puang hampe wulan yena ngadunungan rahu, ngahu nyaing ta’un yeru ngupasan bala, gutuk banung jawa hawi nyarang rungu, ngunrah pilu kawan gurun nantang patis. Gutuk jawa ulun mangamuan tumak, gundrah gurun ulun mangantangun luwuk. Hawi jawa ulun lepuh nyasar benteng jaku gurun ulun tulak mungkas balat.

Puang iyuh sangkuriung Sarunai usak jawa, ngahu dapat sangkuwengan ngamang talam gunrah gurun. Daya wurung umpui haut tudi ulu tukat, munsit uyang pada nakei amau adan. Luwan sarunai haut jari rirung rume, ngamang talam janang kamat lulun, rirung rume hanye daya usak jawa, kamat lulun alang gunrah gurun, luwan Sarunai lenuh jari danau, ngamang talam luyak janang luyu.

Puang ure gawe jawa nyasar benteng, ngahu baling irau gurun mangkas balat. Daya pudayar Damung mangaturan jawa, patis karis raja manyusunan gurun. Ngatur jawa minauo paparangan, nyusun gurun turun panyarangan. Luwan Sarunai hanye jari uran tumak, ngamang talam janang rieh luwuk. Luwan Sarunai lenuh jari danau ira, ngamang talam luyak janang luyu riang,. Ekat jawan silu sa rari nanan sangar, dayang Ave hamulu nului panti. Amput mepet pusuk hanye kayuo saramelum, nyurah taruk tamu malar mangamuan matei. Ngungkung ilau kapas supu panyamare, namput awai supu pangujahan. Yeru lenuh tumpuk nansarunai, luluh luyah gumi ngamang talam rining rume hanye jari danau ira, kamat lulun janang layu riang. Puang iyuh sangkuriung mula umpui ulu tukat, ngahu dapat sangkuwengan uyang lawei aden. Banunag jawa galis irariwut mudi, pilu gurun haut inguangin matuk. Hawi silu ngumpul bangkai Pangunraun Jatuh, jaku Ave natai patei ngapet malem balah riwau, palus mapai hanye ilau panyamare, nawurahi awai pangujahan, palus ngebur hanye anri pusuk kayuo saramelum, mapas mapai ma taruk tamu malar mangamuan matei. Palus maumele here Pangunraun Jatuh, maumelan ngampet malem balah riwu. Palus ikilang antang here tane ngatanguan, nginte tenung gumi ngapanalan. Maka lawu ma’eh here mamai gunung rumung, palus isunsaing here ma gumi ipah bawi.

Demikian sekilas peristiwa Sani Sarunai dengan bahasa Janyawai, agar Suku dayak Ma’anyan dapat merenung hal kemakmuran dan kehancuran dilanda peperangan yang disebut Perang Sarunai.

DIBAWAH INI KAMI TERJEMAHKAN DENGAN BAHASA INDONESIA DARI BAHASA JANYAWAI DIATAS ADALAH SEBAGAI BERIKUT :

Sebagaimana telah diterangkan pada ceritera terdahulu bahwa setelah adat istiadat dan peraturan hidup di Sani Sarunai diterapkan oleh Nini Punyut ( Etuh ) dan mulai dibudayakan dimasyarakat, Nini Punyut meninggal dunia.

Dilanjut oleh Amah Jarang (anaknya) mengajak masyarakat membangun kehidupan bersama – sama berlandaskan hukum adat dan peraturan yang sudah mereka akui. Maka tercapailah kemakmuran dan keadilan untuk seluruh masyarakat Sani Sarunai. Dibangun Balai Panung ( Mahligai ), Pamungkulan, Pantar, Panti Jagat, Balai Adat, Mangguntur, lapangan olah raga dan lain – lain. Maka ramailah Sani Sarunai berpuluh – puluh tahun bahkan beratus – ratus tahun sehingga tersebarlah berita kemakmuran Sani Sarunai ke daerah lain.

Namun pada suatu hari datang seekor burung elang yang diserupai oleh Roh air tetesan ke enam dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu dan elang tersebut menari diatas kepala Amah Jarang sambil menagis, pertanda ada bahaya besar menimpa Kota Sani Sarunai. Oleh karena itu Amah Jarang mengumum kepada seluruh masyarakat agar berjaga – jaga sebab bahaya besar akan menimpa kota mereka. Masyarak adat kehidupannya tidak ada angkatan perang khusus hanya keamanan ditanggung bersama berdasar kesatuan masyarakat. Tidak berapa lama dari kejadian elang tersebut,. Tiba – tiba datang ratusan kapal perang dari seberang lautan dengan membawa serdadu penuh dengan kelengkapan senjata tombak, keris, pedang kalewang, langsung mendarat menyerbu kota Sani Sarunai maka terjadilah pertempuran sengit sambil bakar membakar. Maka terjadilah banjir darah, lautan api menimpa kota Sani Sarunai disertai hiruk pikuk, pekik teriak, datangah pertempuran seru itu, hanya Ave dan Silu sempat melarikan diri serta membawa cupu tempat minyak dan kapas dari hasil tetesan ke tiga air dari puncak gunung madu Rahu ditanah kejadian, dan sempat mematah pucuk kayu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, hasil dari tetesan pertama air dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu. Setelah kota Sani Sarunai hancur jadi abu dan penuh dengan darah, pulanglah pasukan dari negeri seberang itu dengan meninggalkan komandan pasukan mereka yakni Tuan Pudayar gugur dalam pertempuaran itu terbunuh oleh Sangumang ( Pasungan/Kilip ). Setelah kapal perang dari negeri seberang habis pulang kembalilah Silu dan Ave dari tempat persembunyian mereka, melihat mayat Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu beserta seluruh rakyat Sani Sarunai bergelimpangan tumpang tindih , susun menyusun, maka segera Silu dan Ave memilah mayat musuh dan mayat penduduk Sani Sarunai, langsung menabur minyak dari cupu yang mereka bawa lari itu ke seluruh mayat yang ada. Kecuali mayat – mayat musuh, antara lain mayat Tuan Pudayar. Lalu mereka berdua mengipas dengan pucuk kayu saramelum yang sempay mereka patahkan waktu mereka lari itu.

Setelah dikipas, terbangunlah semua mayat – mayat Pangunraun itu serta rakyat lainnya. Hanya sayang pohon kayu saramelum itu ikut hancur terbakar, jadi tidak ada dilestarikan sampai sekarang. Setelah bangun hidup kembali mereka berkumpul musyawarah mencari tempat mereka pindah, maka bercerai berailah pendapat mereka. Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung, Maraja Haji berangkat ke Matahari terbit / hidup, Pasungan ( Sangumang ), Nalau, Ave dan Silu, Gayuhan mudik Barito, dan Gantang, Supak Sangkanak ke matahari terbenam ( arah barat ). Maka pecahlah mereka dari Sarunai dan mengadakan kelompok hidup masing – masing tidak diketahui tempatnya.

Hanya yang kami ketahui didapat ceritera riwayatnya dari orang tua kami ( Nenek / kakek ) kami yakni Pangunraun Jatuh, karena mereka naik ke Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yakni didaerah Amuntai, sekarang Kabupaten Hulu Sungai Utara , ada sampai sekarang dibuktikan dengan Candi Laras, itu bekas tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yaitu kota perpindahan Pangunraun Jatuh dari Sani Sarunai yang hancur lebur itu.

Riwayat kehidupan Pangunrau di Gunung Rumung setelah mereka memasuki hutan yuang disebut waktu itu Gunung Rumung. Mulailah mereka membabat hutan, mengadakan perladangan sambil mengurbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa masing – masing dari Sani Sarunai waktu mereka bertebaran mengikuti arah tujuan hidupnya maisng – masing. Bibit dan binatang peliharaan tersebut sisa dari kehancuran di sani Sarunai yang sangat mengesankan dalam ceritera ini, bahwa di Gunung Rumung ini sangat sulit mencari air. Oleh sebab itu mereka sangat sulit mengatur hidup. Pada malam hari bermimpilah Amah Jarang datang dari Roh Dewa Dewi dari tetesan air yang ke enam, memberi petunjuk agar Amah Jarang membakar dupa kemenyan dan mencampur biji beras dengan minyak dan kunyit, supaya beras tersebut kuning dan menabur sebagai pesuruh menuju Roh tetesan air yang ke lima dari tanah kejadian dulu, supaya tersebut bisa memberi petunjuk dimana bias mendapat mata air yang bias mencukupi kehidupan mereka.

Setelah bangun, lalu dilaksan Amah Jarang sesuai mimpi itu. Dengan tiba – tiba datang seekor elang dan terbang berputar – putar diatas sambil berbubnyi kuik – kuik, pertanda keriangan. Lalu dicoba Amah Jarang mengikuti terbang elang tersebut, ternyata terbangnya mendaki sebuah bukit, terus saja diikuti Amah Jarang mendaki bukit itu, yang nama waktu itu Gunung Karunrung Watu, Saing Liang Kayun Tahan. Setelah sampai ke puncaknya, ternyata memutar – mutar elang itu sambil berbunyi kuik – kuik, tanda kesukaan. Setelah Amah Jarang meneliti dengan cermat, ternyata dibawah dia terbang berputar itu, ada onggokan batu – batu besar. Setelah Amah Jarang melihat dibawah onggokan batu itu, dan ternyata mata air dibawahnya. Itulah mata air yang disebut waktu itu ” Ugang Amah Jarang ” . Dari mata air itulah mereka bisa bertahan membikin kampung, lama – kelamaan menjadi kota, itulah disebut Tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi.

Lama kelamaan bersemarak kemakmuran tumpuk Gunung Rumung hanya sayang penduduknya tidak sebanyak di Sani Sarunai karena pada musyawarah mencari tempat perpindahan berpecah pendapat dan mereka pecah bertebaran mengikuti pendapat masing – masing , seperti yang telah diceritera terdahulu, kelompok Marajahaji berangkat ke arah timur, kelompok Supak, gantang dan Sangkanak berangkat kea rah Barat dan pasungan ( Sangumang ) , Silu dan Ave, Nalau dan gayuhan membawa kelompok mudik sungai Barito. Sedangkan Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung ini. Itulah kemakmuran, keramaian di Gunung Rumung, tidak seramai di Sani Sarunai dulu. Disini kembali saya ceritera kelanjutan kehidupan mereka di Tumuk Gunung Rumung, menurut ceritera almarhum nenek saya RADEN BUNTU (anak RADEN SUTANEGARA, cucu RONGGO SUTA UNO ). Nenek saya ini meninggal dunia tahun 1953 di Desa Talekoi.

Kelanjutan ceritera ini sebagai berikut : setelah Pangunraun Jatuh ini merasa cukup kuat perekonomian mereka hasil dari pertanian mereka, timbul permufakatan, mereka ingin mengadakan penyerangan balasan jke Negeri seberang ingin mengambil Dara Amas Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali, yang tertawan oleh serdadu negeri seberang pada perang Sani Sarunai dulu. Kembali disini perlu saya ceritera ulang pada perang Sani sarunai, seorang wanita yang cantik sekali bernam Dara Amas Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali yang tertangkap hidup, dia ini isteri pejabat adat di Sani Sarunai dulu, dan kepala suaminya dipotong dan dibawa pulang oleh serdadu negeri seberang sebagai tebusan ( ganti ) komandan mereka yakni Tuan Pudayar yang gugur pada pertempuran Sani sarunai itu, yang membunuh Tuan Pudayar itu adalah Pasungan (Sangumang) demikian ceriteranya.

Setelah permufakatan rampung, berangkatlah mereka dengan memamakai kendaraan yang disebut pada waktu itu Banawa Samau, kendaraan itu mereka buat bersayap, sehingga di air bisa meluncur, diudara bisa terbang, yaitu setelah peluncuran diair berkecepatan lebih tinggi dengan sayapnya dia bisa terbang meleset ke udara. Maka dapat kita renungkan sekarang, bagaimana bentuk kendaran mereka itu. Disini perlu saya terangkan, manusia dulu tidak makan garam jadi makan mereka ringan – ringan tidak seperti kita sekarang, adanya manusia Dayak ini bisa makan garam datang dari bawaan budaya Hindu, manusia asli Dayak belum mengenal garam. Demikian ceriteranya. Selanjutnya setelah mengarungi lautan luas kadang – kadang meluncur diair, kadang – kadang meleset terbang maka sampailah mereka pada malam hari.

Langsung Anggar menyerbu benteng pertahanan musuh pada malam itu juga maka berkatalah Anggar dalam bahasa Janyawai ” Banawa Jawa Nunung Hatumanri, Minau tahik Uras Galis Kayem, Luwan Nguliungut Tangis Here Jawa, Kala Apen Wanie Daya Panai Anggar Nyujuk Ieng Malem “. Singkatnya pertempuran berkecamuk, hancurlah negeri seberang itu. Namun hanya satu pemuda negeri seberang itu yang tidak mempan senjata dan tetap bertempur melawan mereka. Membentang pinai maleh, Jarang menghadapi pemuda itu .. engan bahasa Janyawai ” Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Nikulawit, Kaleh Jarang Ahu Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Langit. Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Ni Sikulu, Kaleh Jarang Aku Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Uwu ” mendengar itu membalas pemuda tadi ” Minai Tuak Aning Erang Asek Raru anri Wulu, Memai Pangkan Aku Mula Maleh Wuri Datu Hingka Tane Nansarunai. Tuak Aning Aseh Erang Asek Raru Anri Wulu Wurung , Pangkan Paning Aku Mula Maleh Wurie Datu Teka Tane Gunung Rumung “. Setelah mendengar pinai pemuda tadi, berkata Jarang, gencatan senjata sebentar untuk berunding. Setelah buka perundingan dengan pemuda tadi, mengapa pinai demikian bunyinya ? saya ini anak Dara Amas Tukal BanangSauraibu Mirah Rawai Wali, yang masih dalam kandungan almarhum ibu ku, ikut tertawan pada perang Sani Sarunai dulu. Almarhum ibu menceritakan padaku perang sarunai itu, kepala ayahku dibawa mereka sekarang ada padaku.

Mendengar perkataan pemuda itu, jarang lalu menangis dan merangkul pemuda itu sambil berkata, kau ini adik sepupu kami karena ibumu itu bersaudara dengan ibu kami, kami adalah penyerang dari Gunung Rumung yang asal dari Sani Sarunai yang hancur itu, mana ibu itu ?. pemuda itu menyahut, aku ini bernama Paning ibuku sudah meninggal, mendengar perkataan Paning ituJarang mengajak mereka membongkar kuburan ibu Paning dan tulang belulangnya dikumpul dengan kepala ayah Paning yang terpenggal dulu dan dibawa beserta adik sepupu mereka ini pulang ke Gunung Rumung. Demikianlah secara singkat hasil penyerangan mereka ke negeri seberang.

Disini ceritera kehidupan di Gunung Rumung sudah menyerang negeri seberang, setelah mereka pulang dari negeri seberang mereka kembali mengadakan pembangunan bermacam – macam bangunan pada masa itu antar lain : Panti, Pantar, Tuga, Tungkup, Panungkulan, Balai, Parung, Malegai, Balai Pidudusan dan candi. Maka sekarang ada bukti di daerah Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan yang disebut Candi Laras. Itu bekas kerajaan Masyarakat Adat pada masa Pangunraun Jatuh hidup di Gunung Rumung mendekat masa terakhir, kehidupan di Gunung Rumung para Datuo dan para Dara semakin habis meninggal dunia tinggal para Pangunraun yakni : Idung, Jarang, Tangkai, Talengo, Iban, Bangkas, Patis, Anyawungan, Anggar, Paning. Dalam masa yang singkat datang lagi penyerangan dari negeri seberang dibawah pimpinan Patih Gajah Mada. Dalam pertempuran yang sengit Paning yang tidak ikut berkelahi dia berusaha mereda pertempuran itu akhirnya dapat ditengahi, sehingga berdamailah mereka dengan perjanjian :

1. Masyarakat adat masih berhak mengatur tata kehidupan mereka di Gunung Rumung.

2. Masyarakat adat diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.

3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
4. Ajaran agama Hindu di bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat.
5. Pengaturan kehidupan berbentuk kerajaan, tapi dibawah kerajaan negeri seberang, penmgaturanya dibagi tiga :

a. Dibidang agama dan adat istiadat diatur oleh Demang

b. Dibidang pertahanan dan keamanan diatur oleh Tamanggung

c. Dibidang sisial ekonomi, budaya dan lingkungan hidup dan lain – lain diatur oleh Patinggi.

Setelah diakui bersama permufakatan ini lalu mengangkat sumpah supaya sama – sama mentaati perjanjian itu karena waktu itu belum ada tulis menulis karena belum ada pendidikan abjad dan rumah sekolah. Dari hasil musyawarah ini Paning digelar oleh sudaranya ” Paning helang Ranu, Turus Helang Watang ” setelah selesai mengangkat sumpah pulanglah Patih Gajah Mada ke negeri seberang dengan meninggal para pendeta Hindu. Maka berbaurlah adat istiadat dan peraturan yang ditinggal Nini Punyut ( Etuh ) dengan adat istiadat yang diajar agama Hindu. Timbullah tata kemasyarakatan berkasta ( bertingkat ) yaitu tingkat tinggi, menengah dan tingkat rendah, yang antara lain dalam bahasa Ma’anyan ” Putak Amau ( bangsawan ), Manrama’an ( Maratawan ), Putak Ime ( walah ) yang artinya budak “. Setelah kehidupan masyarakat berkasta atau bertingkat ini tidak sesuai dengan ajaran Nini Punyut maka mulailah kehancuran Gunung Rumung karena dalam hati para Pangunraun tidak setuju hidup berkasta itu kerena banyak hak azazi yang diajar Nini Punyut terlanggar antara lain : Azazi para Walah (budak), suram oleh para bangsawan oleh karena itu berangsur – angsur (satu demi satu) Gunung Rumung akhirnya habis menghilang atau dalam bahasa Ma’anyan gaib yang artinya lati tidak tahu tempatnya maka tidak ada kuburunya. Adapun Damung, Tamanggung, patinggi yang terakhir memegang pimpinan di Gunung Rumung ini dalam ceritera nenek dulu yaitu :

1. Damung Mangkurap
2. Tamanggung Jaya Sungkat
3. Patinggi Tambing Baya raya

Setelah para Pangunraun habis menghilang ( Gaib ) berangsur – angsur keadaan Gunung Rumung mundur lalu mulai perpecahan. Damung Mangkurap membawa sebagian pindah ke Kayu Tangi di Martapura, Tamanggung Jaya Sungkat membawa sebagian masyarakat pindah ke Hulu Tabalong yaitu daerah Dayak Bukit Labuhan, mereka disebut Banua Lima. Patinggi Tambing Baya Raya membawa sebagian masyarakat ke daerah Sungai Patai yang disebut sekarang Barito Timur. Demikian perpecahan Gunung Rumung menurut ceritera nenek yang dapat saya uraikan disini.

Jadi yang dibawa Patinggi Tambing Baya raya ini pecah menjadi 3 (tiga) wilayah semula disebut :

1. Paju Epat
2. Kampung Sapuluh
3. Dayu

Nah diselidiki dari bahasa sangat menetukan, Ma’anyan Banua Lima dan Banjar masih berasal dari serumpun bahasa karena masih banyak persamaan, jadi dapat saya percaya ceritera nenek itu mungkin benar suku – suku ini berasal dari 1 (satu) keturunan yaitu Gunung Rumung.

F. RIWAYAT PATINGGI TAMBING BAYA RAYA MEMBAWA MASYARAKATNYA KE PATAI SERTA ADAT BUDAYANYA.

Setelah mereka sampai sungai Patai mereka mulai membabat hutan dengan mengorbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa dari Gunung Rumung antara lain kerbau, babi, ayam dan lain – lain untuk darahnya pengalas tanah air yang baru mereka masuki ini karena daerah ini hutan belantara. Menurut adat dan aturan yang diajar Nini Punyut ( Etuh ) dulu waktu mereka pindah dari Laliku Maeh ke Sani Sarunai dulu harus mengorbankan ternak untuk darahnya mengalas tanah air yang baru mereka masuki, untuk tanah air yang baru mereka masuki itu bisa memberi ketenangan dan penghasilan yang melimpah ruah demi kehidupan mereka.

Demikian mereka memulai tata kehidupan ditempat baru ini, mulailah mereka membuat lading, kebun buah – buahan dan lain – lain dengan bergotong royong bersama – sama yang disebut ” Anrau Iram Saluk Matu ” serta memulai mengusaha hasil hutan antra lain rutan diambil untuk bahan anyaman membuat bakul , keranjang, tikar, lampit, lanjung dan lain – lain guna perlengkapan perkakas rumah tangga. Bakul untuk piring nasi disebut ” Tana’ihan “” Wange Luen ” dari tempurung juga dibelah dibuat jadi sendok gulai disebut ” Pisabuk Luen ” dari kayu dibuat (Dibelah) dan bibikin tipis ujung seperti papan, bulat pangkal untuk sendok nasi disebut ” Waruh ” untuk mengambil air dari kali atau dari sumur dibuat dari buah kelapa tua, dibikin lobang dimukanya selolos ibu jari buah kelapa tersebut direndam dalam air sampai hancur membusuk isinya kemudian baru dibersihkan dibikin tutup bundar kulit kelapa lain dan diberi lobang kecil sepotong belahan kayu kecil dan panjangnya kira – kira 5 cm, lalu ikat kedua ujung rotan kecil tadi pada tengah potongan kayu tadi dan masukan kedalam lobang tempurung yang lolos ibu jari tadi, dan lipatan rotan ujungnya masukan kedalam lobang tutupnya sehingga bisa dijinjing dari ujung lipatan rotan tadi. Alat pengambil air ini disebut ” Wangku “.

Hasil hutan lainnya antara lain membikin perahu yang seperti sampan (banawa) dipakai mereka menyeberang dari Gunung Rumung untuk menyerang negeri seberang dulu hanya perahu ini tidak bersayap, ini adalah alat transportasi air yang disebut ” Jukung ” . Maka sampai sekarang terkenal jukung patai dan sampai sekarang ramai diperjual belikan sebagai sumber usaha pertama yang membudaya pada suku masyarakat adat Ma’anyan, suku lain adalah meniru dari suku ini. Mengenai transportasi darat belum ada kepandaian selain menjinjing, memikul dan memapak ke punggung dengan kekuatan tenaga. Alat penerang mereka diambil dari dari damar dihutan dan mereka tumbuk jadi tepungdijemur sampai kering, dibungkus dengan daun pisang diikat, pangkalnya terbuka ujung atas dan dibikin memanjang seperti ruas bambu, tempat menyalakannya dibuat papan dari kayu ± 50 cm ditengahnya dipahat lobang 5 cm persegi, dilobang ini didirikan patung ± 40 cm – 50 cm didata patung dibuat lobang lagi ± 4 cm persegi pada lobang ini dimasukan 1 (satu) buah potongan kayu dibelah dua yang panjangnya ± 20 cm – 25 cm sebagai tanggannya, diantara kedua tangan ini dijepit bungkusan damar tadi baru dinyalakan, ini disebut ” Jangkaramai “.” Teluk Ma’anyan ” selama 7 hari 7 malam Damung Baning bertapa dengan rakit gedang pisang yang besar – besar tujuh potong gedang pisang untuk membuat rakit.

Pada malam ke 7 (tujuh ) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba – tiba muncul dari dalam air diteluk tersebut perlahan – lahan kepala manusia lengkap dengan lawung lawai semakin lama semakin keluar badannya. Setelah dilihat seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian dukunnya lalu minta disambut oleh Damung Baning, gong tempatnya duduk dan kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5 (lima) yang sempat diangkat. Itulah asal Agung Garinsingan, Kangkanung Nyiang Lengan, pusaka orang Dayak Ma’anyan tapi benda tersebut entah dimana sekarang tidak diketahui tempatnya. Adapun wanita tadi sengaja diberi Dewa Dewi untuk Dukun Balian Pangunraun, guna melaksnakan adat istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan roh tetesan ke enam dari tanah kejadian dulu ( di Tane Tipak Sulau )

Nama wanita ini ” Gumantartutup ” ayahnya Dewa, Damung Ulin, Uria Rajadina ibunya, Dewi Bintang Wayang Putri Igal Gamung. Ceritera inilah asal usul Wadian Rama dan dari pertapaan Damung Baning ini baru mendapat nama Suku Dayak Ma’anyan sebelumnya disebut Suku Dayak Pangunraun. Sesudah semua mengakui nama sukunya, Putri Gumantartutup ini mulailah Ma’anyan bertebaran Damung Baning, paris Mawuyung, Tunjung Aneh Matu, mangku Jaya, ke Paju Epat, Tamanggung Sangar Wasi, ke kampong sapuluh, Damung jaya Abeh ke Dayu, Ngabe Timpang ke Banua Lima.

Meskipun bertebaran, tetap sukunya Dayak Ma’anyan pada pertengahan penjajahan Hindu dari Jawa, datang dari Timur Tengah, Uria Pitu ( 7 ) mereka ini panglima perang dari Timur Tengah sengaja datang untuk mengajar ilmu perang kepada kita. Ilmu yang diajarkan silat dan ilmu kekebalan terhadap senjata tajam. Uria Pitu ( Panglima Perang ) ini bersaudara sebanyak 7 (tujuh) orang yaitu :

tempurung kelapa untuk tempat gulai disebut Kalau untuk jalan malam tidak bisa mamakai damar tersebut, tapi diambil teras kayu kering dijemur kering – kering baru dinyalakan pada malam hari bila mau berjalan ini disebut ” Belun ” tapi kalau di Sani Sarunai dulu bila mereka mau berjalan malam mereka mencari sepotong kayu rapuk yang dibalut oleh cendawan sinar yang disebut ” Kulat Kumala ” itu untuk mereka berjalan malam. Perlu saya terangkan baru setelah mereka di Patai ini mereka mulai mengenal makan garam karena dibawa oleh pedagang suku Bakumpai di negeri Patai ini, Damung Baning bertapa disebuah teluk muara Sei Telang dan Siung, teluk yang besar disebut

1. Uria Damung Napulangit, mengajar ke Paju Epat
2. Uria Puneh, mengajar mudik Barito
3. Uria Renda, mengajar ke kampong sapuluh sampai dengan Banua Lima
4. Uria Ratau, mengajar ke Dayu, Paku Karau, Lawangan
5. Uria Biring ( Maholi ), mengajar ke Tabalong, Labuhan, halong, Balangan sampai dengan Dusun Tumang
6. Uria Bunan, mengajar ke Martapura sampai dengan Banjarmasin
7. Uria Pulanggiwa, mengajar ke Kapuas dan Kahayan

Untuk lebih jelasnya keturunan dari ke tujuh uria diatas, dapat anda lihat pada Jereh ( Silsilah ) keturunan yang saya lampirkan pada buku ini.

Sampai disisni ceritera asal usul Dayak Ma’anyan yang saya ingat dari ceritera almarhum nenek saya Raden Buntu ( Tu Medan atau Ibu Pananda Ch. Luran ). Nenek ini anak Raden Suta Negara ( cucu Ronggo Suta Uno ) di kampung Telang Lama, yakni yang empunya Tamak Mas yang ada di Telang Lama sekarang. Adapun saya yang mengurai dan sebagai nara sumber ini adalah anak A. Guse adik perempuan dari Ch. Luran (Bp. Gubib) dan yang membukukan ceritera ini adalah anak M. Ruhini ( cucu dari A. Guse ).


Sumber

DAVID MANUWU’S BLOG

RIWAYAT DATU SANGGUL


http://banuahujungtanah.wordpress.com

Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan DatuSanggul sewaktu masih menuntut ilmu di Mekkah. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan.

Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?

Berdasarkan tutur lisan yang berkembang dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis buku, sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang sosok dan kiprah Datu Sanggul.

Versi Pertama menyatakan bahwa Datu Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad Arsyad yang bertemu dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang isinya menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya, karena tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian dari kitab Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi, yakni pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi kitab tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis bersama sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu Sanggul (hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).

Kemudian secara tersirat dapat pula dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari pemahaman ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari langit turun ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik ke langit. Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan tasawuf berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan Datu Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah diciptakan-Nya (alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah menyampaikannya kepada kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam dan bahkan pada diri manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka yang mentafakurinya. Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu laduni yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang ingin mempelajari ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber acuan pokok, yakni berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya “tanda-tanda” (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk ciptaanNya.

Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam (1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya), ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru masjid desa Tatakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika membuat soko guru dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang tahu siapa nama asli tokoh ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau bacaan tertentu, kecuali “hanya menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk dan kapan ia keluar”, sehingga dapat secara rutin pulang pergi sholat ke Masjidil Haram setiap hari Jumat.

Versi ketiga, berdasarkan buku yang disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari Hadramaut dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di Banten dan di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan mahaguru para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati Munggu Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada yang menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau Syekh Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang dipercaya oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan kitab Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga teristimewa di antara ketigabelas orang murid Datu Suban.

Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah shalat Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang sebenarnya.

Banyak cerita yang lisan yang beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau tidak basah.

Jamaah Masjid juga pernah menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit
tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.

Berdasarkan paparan di atas menjadi satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah yang mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara detail, guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada mengenai riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan, seperti “Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu” oleh sejarawan Banjar Drs. H. A. Gazali Usman, atau pula “Manakib Datu Sanggul”, oleh H.M. Marwan. Tenut saja, agar generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling
terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak positif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya.

Wallahua’lam.